Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Latest topics

» Chit Chat Antar Accretia di sini !
After School (Fan Fics) EmptyMon May 09, 2011 1:39 am by napoleon

» Buat Para Cora , Absen Disini ...!!
After School (Fan Fics) EmptyFri Apr 22, 2011 7:18 am by chelios

» cheater........!!!!!!!!!!!!!!!!!!
After School (Fan Fics) EmptyWed Jun 16, 2010 11:30 pm by Napster_Feyz

» in Game Rules
After School (Fan Fics) EmptyTue Jun 01, 2010 9:51 am by nirwansyah

» SERVER SAMPAH
After School (Fan Fics) EmptyFri Apr 30, 2010 8:40 pm by lolx4fun

» Perkembangan Server
After School (Fan Fics) EmptyWed Apr 28, 2010 5:36 am by Sessh0umaru

» OWNERNYA MANA NIE
After School (Fan Fics) EmptyWed Apr 28, 2010 2:08 am by [GM] Dara

» Event Buat Admin
After School (Fan Fics) EmptyWed Apr 21, 2010 6:52 am by blacklance13

» SERVER CLOSE !!!
After School (Fan Fics) EmptyWed Apr 21, 2010 2:06 am by [GM] KaizerHeroes

Navigation

Affiliates

free forum
 

+4
NaNa [cLeona]
[GM] KaizerHeroes
Admin[MaXiMiLiaN]
[GM] Ebenzer[B]
8 posters

    After School (Fan Fics)

    [GM] Ebenzer[B]
    [GM] Ebenzer[B]
    GM[Game Master]
    GM[Game Master]


    Posts : 32
    Join date : 30.03.10
    Age : 29

    After School (Fan Fics) Empty After School (Fan Fics)

    Post by [GM] Ebenzer[B] Wed Mar 31, 2010 10:15 am

    Warnings!
    Rating: M (tapi karena tteman sendiri, saya rubah jadi T~)
    Contains gore, violence (mostly violence), nudity (dikid kok, dikid...), and slef-harming attempt
    slight hay (bukan hay sih, tergantung liadnya dari sisi mana ) /huahaha





    After School


    Hujan deras mengguyur kota Edelmeier. Ribuan kubik air di jatuh kan diatas bumi Edelmeier High. Gemuruh air beradu atap tanah lilat kuno menjejali telinga Ebenzer dengan dengung lebahnya.

    Pengajar yang mondar mandir di depan kelas terlihat seperti ikan mas yang hilang suaranya. Kasihan juga, sekuat apa pun dia berusaha menaikan suara tetap tidak mampu mengimbangi gelegar hujan dan petir. Pengajar itu adalah Mrs Heyden. Dia tidak mau di panggil Heyden-san seperti pengajar lain karena katanya dia adalah keturunan asli inggris.

    Kembali ke Edelmeier High. Sekolah tua ini ternyata tak mampu manahan hawa dingin yang menusuk tulang seluruh penghuni nya. Angin bisa dengan bebas keluar masuk lewat celah-celah batu bata.

    Dan disinilah Ebenzer Axirod dalam balutan seragam Edelmeier High meringkuk kedinginan sambil berjuang menahan kantuk yang berkolaborasi dengan orkestra hujan. Begitu kuatnya aura pembosan yang di pancarkan oleh sang pengajar membuat mata Ebenzer semakin lama semakin menurun tirainya. Mili meter per mili meter.

    "Huah...." Ebenzer menguap tanpa di tutupi sama sekali. Kurang 25 menit sebelum pelajaran berakhir. Rasanya masih lama sekali...

    Kali ini Ebenzer pun menyerah pada rasa kantuknya. Dengan pasrah, dia meletakan tangan diatas tangkupan kedua tangannya. Menyerahkan diri pada alam tidur...


    ...

    ......


    "zer..."

    "...ebenzer..."

    "EBENZER!!!!"

    "!!" Tersentak Ebenzer bangun. Kepalanya pening bukan main gara-gara bangun mendadak. Sementara matanya berusaha fokus, dan jiwanya yang berkelana sedang mengumpulkan diri, didepannya berdiri seorang wanita berseragam sama yang sedang nyengir lebar padanya.

    " Pagi Ebenzer-kun, walau pun sekarang sebenarnya sudah sore" Sapa seorang gadis berrambut pendek dengan handycam terangkat di depan wajahnya.

    "Oh... Clear-san..." ucap Ebenzer sambil mengusap mata. Gadis yang sedang tersenyum, tapi malah terlihat menyeringai, itu bernama Clear Solares. Teman sekelasnya.

    Ebenzer pun segera menyadari bahwa keadaan kelas ramai, pengajar membosankan tadi juga sudah tidak ada. Dan jam menunjukan sudah lewat lima menit dari waktu pulang. Namun hujan belum juga mereda barang setitik pun.

    Oh rupanya siswa-siswa ini sedang menunggu hujan reda...

    "Mrs Heyden menjadikan kita satu kelompok drama! Kita cuma di beri waktu satu minggu untuk persiapan lo" Ucap Clear tanpa basa basi sambil duduk di meja Ebenzer.

    "Kelompok drama? Kapan di baginya?"

    "Tadi. Waktu kau masih asik membuat pulau"

    Ebenzer nyengir malu, "Lalu siapa anggota yang lain?"

    "Zenos dan Mycale" Jawab Clear sambil lalu. Beberapa detik kemudian dia menambahkan dengan nada kesal, "Dasar pelacur tua... Heyden selalu memberi tugas-tugas tambahan yang tak berarti"

    Ebenzer terkejut. Baru kali ini dia mendengar salah satu kaum hawa yang mengumpat begitu.

    "Well, nanti kita akan berdiskusi dulu mau bikin drama apa. Sambil nunggu hujan" Ucap Clear lagi.

    Tiba-tiba ada seorang anak dari kelas sebelah yang melongokan kepalanya ke dalam kelas sambil berkata, "Clear Solarize? Di panggil guru BP" Lalu batang hidungnya hilang dari balik kusen.

    Clear lagi-lagi menggerutu lalu meninggalkan Ebenzer sendirian.

    Ebenzer menguap lagi. Dia merasa begitu malas dan bosan. Pikirannya mendesak tubuhnya untuk cepat-cepat pulang dan menamatkan game RPG kesukaannya. Namun badai yang menampar-nampar bumi Edelmeier membuatnya gentar.

    Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya, "Ebenzer, kita satu kelompok lo... Sudah tau dari Clear kan?" Kata orang itu barusan.

    "Mycale-san... ya, aku sudah tau"

    "Lalu kemana gadis yang katanya mau mengajak berdiskusi itu?"

    "Er, dia di panggil guru BP..."

    "Oh"

    Ada jeda beberapa detik dalam percakapan mereka. Ebenzer bersingut tidak nyaman. Namun sebisa mungkin dia menyembunyikannya.

    Sejujurnya, Ebenzer agak keberatan dalam pengelompokan kali ini. Dia memang lebih mengenal Clear dari pada yang lain.

    Namun gadis itu terkenal keras kepala dalam mepertahankan pendapatnya jika ada diskusi. Lebih sering memaksakan kehendaknya dan kadang kalau emosi suka meledak-ledak. Ebenzer jadi sedikit ngeri, kalau-kalau dia salah berbicara dan di sate oleh Clear.

    Lagi pula, kadang Ebenzer tidak tau yang mana sifat Clear yang asli. Kadang dia terlihat baik dan manis, namun kadang dia terlihat penuh emosi dan menyebalkan. Kalau sudah begitu, rasanya melihat orang dengan kepribadian ganda.

    Pada Mycale, Ebenzer tidak terlalu mengenal pemuda ini. Dia dan Ebenzer hanya bertukar beberapa kalimat saja dalam seminggu. Mycale memang terkenal kalem, meski pun dia masuk eskul paduan suara dan menjadi salah satu yang terbaik.

    Dia juga tertarik pada biologi dan tidak segan menghabiskan waktu sampai malam meneliti di dalam lab yang seram. Namun lebih dari itu, Ebenzer sering merasa tidak nyaman berada di dekatnya.

    Entah bagaimana, Mycale selalu terlihat ingin memangsanya. Kabarnya dia juga orang yang mudah bosan. Ebenzer takut kalau dirinya tidak bisa mengeluarkan ide segar hingga dianggap orang bodoh oleh Mycale.

    Dan untuk Zenos... Siapa yang tidak kenal dengan Zenos Cavahan? Dia murid teladan genius yang selalu menduduki urutan pertama dalam setiap ujian selama karirnya di sekolah. Sebagaimana orang jenius lainnya, dia jarang bersosialisasi, dan pendiam sekali. Wajahnya selalu menunjukan bahwa dia tidak membutuhkan orang lain.

    Ebenzer jadi minder sendiri kalau satu kelompok dengan Zenos. Bersanding saja rasanya tidak pantas, apa lagi satu kelompok.

    Saat ini empunya otak jenius sedang membaca sesuatu yang kelihatannya rumit di pojokan kelas.

    Ebenzer mendiagnosis bahwa kelompok kali ini akan sangat menyiksanya... Belum-belum Ebenzer sudah malas sekali memikirkan anggota kelompok yang lain.

    Drrrrd! Drrdd!

    bunyi getar ponsel terdengar cukup keras, karena Ebenzer meletakan miliknya itu diatas meja kayu. Buru-buru diraihnya ponsel itu. Dalam hati dia merasa bersyukur ada hal lain yang di lakukannya dari pada duduk melongo di samping Mycale.



    "Ayo diskusi diperpustakaan! Di kelas ramainya minta ampun
    -Clear"


    Ebenzer pun menyampaikan isi pesan itu pada Mycale. Dan mereka berdua menghampiri Zenos sebelum bertiga berangkat ke perpustakaan.

    Selama di perjalanan menuju perpustakaan, mereka bertiga diam total, sibuk dengan pikiran masing-masing. Zenos memandang ke luar jendela koridor dengan pandangan boasn, sementara Mycale mendengarkan musik seriousa dari headset mp3 playernya.

    Untuk mengalihkan perhatian agar tidak grogi, Ebenzer ikut memandang ke luar jendela koridor. Dari jendela, terlihat sekilas ruangan BP. Oh, dia bahkan bisa melihat Clear sedang duduk di depan meja BP, sedang di marahi rupanya.

    Namun Clear tiba-tiba berdiri dan menyambar sebuah vas yang ada di meja. Setelah itu pemandangan tertutup tembok karena sudut pandang Ebenzer yang terus berjalan tidak memungkinkan untuk melihat dari sisi ini.

    Ingin rasanya Ebenzer berhenti dan berbalik untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya, namun melihat Zenos yang berdiri di belakangnya persis, membuat Ebenzer mengurungkan niatnya.

    " Permisi..." Gumam Ebenzer sambil membuka pintu perpusatakaan lebar-lebar. Dan dia merasa aneh karena tidak ada siapa-siapa disitu, bahkan perpustakawan yang biasanya nongkrong sampai magrib juga tidak ada.

    Mereka mengambil meja paling dekat dengan pintu keluar sembari menunggu Clear selesai di ceramahi oleh guru BP.

    Mycale masih tidak bosan melepaskan headset yang bernyanyi itu, dan Zenos pun melanjutkan aktifitas membacanya. Untuk Ebenzer sendiri, dia memilih mengambil buku secara acak agar ada sesuatu yang di kerjakan. Ternyata yang diambilnya adalah buku Psikologi lanjutan yang rumit. Sambil meringis pahit, Ebenzer mencoba menerjemahkan sendiri istilah-istilah yang tertulis dalam buku tersebut.

    Suasanya begitu sepi, hanya terdengar suara samar bergemerisik dari mp3 palyer milik Mycale. Dan ternyata buku yang di pilih secara acak bagi Ebenzer sama menyiksanya...

    Tiba-tiba Ebenzer merasakan sesuatu yang licin melintas, bersentuhan dengan kakinya. Jantung Ebenzer mendesir dan segera saja dia mengangkat kakinya keatas sambil setengah mundur dalam usahanya menghindari benda licin tersebut.

    Dalam benaknya terlintas satu mahluk: ular. Kursi yang di duduki Ebenzer sampai terguling akibat reaksi mendadak Ebenzer. Zenos dan Mycale berdiri dari tempatnya, wajah mereka heran dengan kelakuan kasta terendah dalam kelompok itu.

    "Dibawah sepertinya ada ular..." Ucap Ebenzer sambil menyembunyikan rasa paniknya, namun gagal total, karena dia terdengar seperti tikus yang mendecit.

    Mycale segera mengecek bawah meja, sementara Zenos hanya membungkuk. Terdengar Mycale berseru pelan, dan dia bergerak agak kasar, lalu yang berikutnya terjadi adalah sebuah ular sanca sepanjang lengan orang dewasa, kepanya terjepit di tangan kanan Mycale, sementara ekornya di pegang di tangan kirinya.

    "Untung bukan ular berbisa..." Ucap Mycale sambil tersenyum aneh, "Sepertinya dia lepas dari laboratorium... akan kukembalikan ketempatnya"

    Dan segera saja Mycale pergi beserta ular, dan Mp3 Playernya. Dan ruangan kembali sunyi. ebenzer cepat-cepat membetulkan kursi dan kembali duduk menekuni buku psikologi yang sama sekali tak di mengertinya.

    Suasana begitu tegang. Bagi Ebenzer tentu saja. Diliriknya Zenos masih dengan khusyuk membaca bukunya seperti patung yang di ciptakan oleh tangan seniman pahat nomor satu abad 18 di prancis.

    Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, Ebenzer mengumpulkan keberanian untuk membuka topik pembicaraan dengan Zenos.

    "Er... apa maksudnya Sadomasochism??" Tanya Ebenzer terbata-bata.

    Zenos memandangnya dengan tajam. Ebenzer pun dalam hati jadi menyesal telah mengajukan pertanyaan yang tak sesuai kastanya.

    Namun tak disangka Zenos membuka suara dan mulai menjawab pertanyaan Ebenzer,

    "Sadomasochism adalah gabungan dari dua kata, yaitu sado, atau sadism, yan gberarti kepuasan untuk membuat dan menonton orang lain menderita dan kesakitan. Sementara Masochism adalah kebalikannya. Dua hal yang saling mengisi. KAdang melibatkan unsur seksual, tapi tidak selalu. Mengapa kau tanyakan Ebenzer? Kau mau mencobanya??"

    Entah kenapa kalau Zenos mengucapkan penjelasannya seperti itu, kendati jawabannya textbook sekali, ada sesuatu yang berbeda, auranya berbeda. Membuat bulu kuduk Ebenzer berdiri. Apalagi matanya terlihat begitu menyatu dengan image hal yang dibahasnya.

    "Ada lagi yang ingin kau ketahui Ebenzer? Mau membahas hal tersebut lebih lanjut? Kebetulan aku sedang mengadakan riset tentang dua hal tersebut..." Tanya Zenos mengakhiri bahasannnya dengan pertanyaan interaktif. Tumben Zenos tidak sependiam biasanya.

    Ebenzer tergagap, "Er..." Otaknya berpikir keras untuk dapat kabur dari masalah yang di timbulkannya. "Er... aku mau ke toilet dulu... Permisi" Ucapnya sambil berlalu.

    Ternyata semakin jenius orang, semakin anehlah dia! Zenos benar-benar telah membuatnya takut. Bukan takut seperti melihat setan, mungkin mirip itu, tapi lebih ke jenis ketakutan yang lain.

    Deg.
    Ebenzer merasa dirinya diikuti seseorang. Namun dia membiarkannya, mungkin ada yang berjalan kearah yang sama dengannya. Namun, setiap kali dia melangkah, orang itu melangkah, dan berhenti ketika Ebenzer berhenti.

    Saat dia menoleh kebelakang, wujud yang mengikutinya tidak nampak. Membuatnya makin merinding. Dia memang tidak begitu percaya dengan hantu, tapi kali ini cukup membuatnya merinding. Ebenzer mempercepat langkahnya untuk mencapai toilet.

    Tapi dasar dia ceroboh, di tikungan koridor, dia menabrak seseorang, hingga seseorang yang dia tabrak itu menjatuhkan bukunya.

    Orang itu mengaduh, dan Ebenzer segera sadar bahwa orang itu adalah Elwin-san!

    "M-maaf Elwin-san! Saya tidak sengaja!" Ucap Ebenzer sambil membantu mengumpulkan buku dan dokumen yang tersebar akibat cara berjalannya yang ugal-ugalan.

    "Kamu toh, Ebenzer. Tidak apa-apa kok. Sudah jam segini kok masih belum pulang?" Jawab Elwin-san. Wah pengajar yang seperti ini yang di butuhkan Edelmeier High. Bijaksana dan tidak galak namun tegas pada murid.

    "Kelompok kami akan berdiskusi untuk drama minggu depan" Jawab Ebenzer sambil menyerahkan kertas yang ia kumpulkan. Dengan segera dia teringat, Elwin-san adalah guru yang di pasrahi untuk membawa kunci laboratorium. Bukankah Mycale sedang kesana untuk mengembalikan ularnya?

    Bagaimana jika pemuda itu kesana dan menemukan pintu terkunci sedangkan ular pembelit mencoba meremukan lengannya?

    "Elwin-san, tadi Mycale ke laboratorium... Dia mau mengembalikan ular yang lepas, hingga masuk ke perpustakaan, kembali ke lab" lapor Ebenzer.

    Elwin terlihat terkejut, "Aduh, kuncinya saya bawa! Kasihan anak itu. Kalau begitu saya kesana sekarang. Terima kasih atas infonya, Ebenzer"

    Guru itu berlari kecil dan berbelok di lorong menuju lab.

    Ebenzer kembali melanjutkan perjalanannya ke toilet. Namun begitu melihat toilet yang lampunya mati, dia jadi mengurungkan niatnya. Sejak awal dia memang tidak berniat ke toilet untuk buang hajat, melainkan menghindar dari Zenos. Jenius yang pikirannya seperti malam haloween.

    Teringat akan Clear, Ebenzer pun berjalan ke ruang BP. Sekolah sudah cukup sepi, bahkan sangat sepi. Hanya terlihat beberapa guru di kantor, itu pun sudah berkemas-kemas. Beberapa pengurus sekolah.

    Sesampainya di ruang BP, Ebenzer berjingkat di jendela untuk mengintip kedalamnya. Namun dia tidak menemukan seorang pun hom0 sapien yang bercokol disitu. Dengan penasaran, Ebenzer bergerak pelan kedalam ruang BP.

    Benar-benar tidak ada siapa-siapa. Bahkan suara gesekan tanda-tanda ada penghuni pun tidak terdengar. Namun Ebenzer dapat melihat sebuah vas pecah berkeping-keping di lantai. Bunganya berserakan di lantai dengan mahkota petal terkoyak menyedihkan.

    Diamatinya vas tersebut. Dan betapa terkejutnya Ebenzer ketika melihat ada bercak darah di pecahan vas yang paling besar. Ketika meneliti lebih jauh, Ebenzer menemukan adanya tetas darah di lantai, dan tetesan tersebut menunjuk kearah luar BP, seperti untaian manik-manik merah kelam penunjuk jalan.

    Ebenzer pun dengan amat berhati-hati menelusuri jejak darah tersebut. Hujan masih terus mengguyur Edelmeier, Ebenzer sedikit bergidik kedinginan ketika angin es melewatinya, namun dia tetap berjalan berdasarkan cetak darah di lantai.

    Jejak itu membawanya ke kebun belakang sekolah. Perlahan, di tengah deru hujan, terdengar suara samar seperti orang sedang mencangkul.

    Ebenzer melongok kearah sumber suara....

    Terlihat seorang bermantel hujan berwarna hitam sedang menutup lubang dengan sekop di bawah guyuran hujan. Dan ketika orang itu berpaling, Ebenzer mengenali wajahnya, orang itu adalah Clear!

    Apa yang dia lakukan disini? Bukankah dia seharusnya segera ke perpustakaan untuk membahas drama?

    Karena penasaran, Ebenzer sedikit berjingkat untuk melihat apa yang ada di dalam lubang yang sedang di tutup oleh Clear. Betapa jantung Ebenzer akan berhenti berdetak ketika melihat yang di kubur gadis teman sekelasnya itu adalah Mrs Heyden!

    Mrs Heyden terlihat kotor oleh lupur, wajah dan kepalnya nyaris hancur tak berbentuk. Namun matanya masih melotot. Mulutnya menganga seperti akan melancarkan serangkaian kata tajam. dan melihat ekspresi Clear yang puas, membuat ebenzer ingin pingsan.

    Entah ke*sensor* apa, Clear seperti menyadari kehadiran Ebenzer. Merasa tertangkap basah, bukan si Clear, tapi Ebenzer, pemuda itu segera berlari meninggalkan posnya, untuk kembali kekelas menari perlindungan di tengah-tengah ramainya kelas.

    Dia sudah tidak peduli lagi dengan drama kelompok, ada seseorang terbunuh saat ini!!

    BRAK!!

    Dengan kasar dia membuka pintu kelas. Dan sedikit kecewa karena setengah dari kelas ternyata memilih pulang menembus badai. Namun dia dapat menemukan seseorang yang bisa dia andalkan.

    "Alto!! Hey Alto!!" Panggil Ebenzer sambil berlari mendekati Alto. Alto Funeral Angelo, adalah sahabat karib Ebenzer. Lelaki kalem tapi cengengesan itu terlihat duduk di pojokan sedang berbicara kepada seorang gadis yang memakai handuk menutupi kepalanya yang basah akibat kehujanan.

    "Alto! Keadaan gawat!!" Seru Ebenzer agak keras bahkan ketika sudah berada di dekat Alto. Alto dengan jengkel memandang Ebenzer, "Aku tidka tuli, aku bisa mendengar perkataanmu dengan jelas, tak perlu berteriak!" Gerutu Alto.

    "Dengar! Ada keadaan darurat!" Ucap Ebenzer lagi, kali ini dengan nada lebih rendah. "Ya, aku sudah tau, apa keadaan darurat itu, Ebenzer??" Tanya Alto mencoba sabar.

    "Ya, apa keadaan darurat itu?? Sepertinya penting sekali!" tanya gadis yang mengkerudungkan handuk di kepalanya.

    "Ada--- !!!" Kali ini bukan hanya jantung, tapi paru-paru, usus, ginjal, bahkan otak Ebenzer seakan nyaris bekerja ketika melihat siapa gadis berkerudung handuk ini.

    Clear duduk disebelah Alto, menggunakan handuk untuk mengeringkan rambutnya. seragamnya basah kuyup, terutama bagian rok, berlumpur. Sepatu dan kaus kakinya dia lepas. Dua benda berlumpur dan basah itu tergeletak di bawah meja.

    "Ayo ceritakan! Sepertinya menarik!" tanya Clear riang. Dari ekspresi wajah gadis itu tidka menunjukan bahwa dia telah melakukan pembunuhan, baik di sengaja maupun tidak, pada gurunya dan menyembunyikan mayatnya di kebun belakang sekolah!

    "Kok malah dia?" tanya Alto keheranan.

    Dengan jari gemetar, Ebenzer menunjuk Clear, "Ba-bagaimana kau..."

    Clear yang menyadari dirinya di tunjuk, sadar dan langusng menjelaskan, "Oh ini? Setelah kembali dari Ruang BP, aku terpeleset di parit... memalukan memang. Untung saja ada Alto yang menolongku. Aku tau harusnya aku mengabari kalian, tapi HP ku mati gara-gara kena air... maaf ya kalian menunggu di perpus sendirian..."

    Ebenzer gemetar. Kemudian dia menarik tangan Alto dan mengajaknya keluar kelas.

    "Ada apa sih Ebenzer?? Kau tidak normal ya menarik tangan cowo??" Protes sekaligus ejek Alto. Ebenzer langsung membuang tangan Alto, "Enak saja! Dengarkan aku dulu!"

    Lalu Ebenzer menceritakan apa yang di lihatnya pada Alto. Alto memasang tampang 'kau sudah sinting' selama Ebenzer bercerita.

    "Kau mengatakan Clear, teman sekelasmu sendiri, telah membunuh Mrs Heyden? Kau sinting Eb..." Komentar Alto setelah beberapa detik Ebenzer bercerita.

    "Aku mengatakan yang sebenarnya!! Aku melihatnya beberapa menit yang lalu, pasti masih ada buktinya!" Ebenzer berargumen.

    "Hayo-hayo... ada apa ini?? Ebenzer mau buat pengakuan cinta sama Alto ya?"

    Dua lelaki itu terlonjak ketika Clear sudah di belakangnya sambil mengucapkan kata penuh penghinaan itu.

    "Si4lan... mungkin dia memang hay, tapi aku tidak" Sanggah Alto.

    "Lalu apa yang kalian bicarakan?? Sepertinya serius..." Clear bertanya lagi dengan wajah menggoda orang yang lagi pacaran.

    "Dia bilang kau membunuh Mrs Heyden" Jawab Alto terus terang.

    Ingin rasanya Ebenzer menyodok mulut Alto dengan penggaris besi. Sedangkan Clear terdiam, lalu dia berkata pelan, "Se benci-bencinya aku padanya tentu aku tidak akan tega mebunuhnya. Meski pun ingin"

    "Kalau benar aku telah membunuh Mrs Heyden, tunjukan buktinya" Tantang Clear dengan bergaya sok penjahat.

    Akhirnya mereka bertiga pergi ke Ruang BP.

    "Disini akan ada vas pecah dan tetesan darah..." Ucap Ebenzer dengan suara mirip orang berkumur sebelum memasuki ruang BP.

    Namun apa yang dia dapati adalah ruang BP yang bersih dan rapi. Sama sekali tidak ada vas pecah apalagi bercak darah. Meski pun memang tidak ada vas disitu.

    "...mana?" Tanya Clear.

    Alto terdiam, dia sepertinya prihatin pada Ebenzer. Ebenzer sendiri berusaha menolak kenyataan, dia tetap bersi kukuh, "Sumpah! Tadi ada pecahan vas dan dan darah!"

    Dia mulai panik, "B-bisa saja kau bereskan sebelum membuat alibi dengan Alto!" Sanggahnya lagi.

    Clear membuang nafas, "Untuk membersihkan 'vas' dan 'bercak darah' tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dan aku bertemu Alto sepuluh menit sebelum kau menemuinya. Ya kan Alto?"

    Alto gelagapan, "Y-ya..." terlihat sekali kalau dia tak mau memojokan sahabatnya lebih jauh, namun logika harus tetap di perhitungkan.

    Ebenzer lalu teringat akan kebun belakang sekolah, "Aku melihatmu mengubur Mrs Heyden di kebun belakang sekolah! Bagaimana kalau di cek?"

    Clear mengangkat bahu, "Silahkan saja"

    Ebenzer, dengan tanpa memakai jas hujan, terus menggali dengan sekop tua. Dia yakin sekali koordinat tempat Clear mengubur Mrs Heyden. Namun sudah sedalam setengah meter Ebenzer tak menemukan apa-apa. Alto terlihat makin prihatin.

    Akhirnya sekop Ebenzer menyentuh sesuatu yang keras, hati Ebenzer, anehnya, berbunga-bunga. Bukan karena dia senang menemukan mayat Mrs Heyden yang kepalanya sudah hancur, tapi karena dia berhasil membuktikan kejahatan yang di lakukan anggota kelompoknya.

    Dengan penuh semangat, Ebenzer terus menggali. Namun, kenyataan yang dia temui tidak sejalan dengan harapannya. Benda keras yang menyentuh sekopnya ternyata adalah gerabah yang sudah lama pecah. Ebenzer teringat bahwa beberapa minggu yang lalu pengurus sekolah pernah mengubur gerabah yang pecah secara massal di ruang kesenian.

    "Tidak mungkin..." Ebenzer mulai mengais gerabah itu dengan tangan kosong, " Pasti ada disini!! Pasti disekitar sini!!" Lalu dia segera berdiri, "Atau mungkin aku salah gali... ya! Aku pasti salah tempat!!" Ucapnya meyakinkan diri sendiri.

    "Silahkan gali seluruh sekolah ini jika perlu, namun kau tidak akan menemukan mayat Mrs Heyden atau mayat orang lain. Tapi mungkin kau akan menemukan mayat kucing, anjing, bahkan kecoa. Atau mungkin dari sekian binatang itu ada yang bernama Mrs Heyden. Cari saja" Ucap Clear sarkastik.

    Ebenzer yang emosi, langsung menggali situs lain, namun usahanya segera di halangi Alto, "Sudahlah Ebenzer! Sudah!"

    Alto segera membuang sekop yang terjatuh dari tangan Ebenzer, "Ada apa denganmu?! Tidak biasanya kau bicara melantur seperti ini!!"

    Ebenzer menepis tangan Alto, "Aku berkata yang sebenarnya!! Dia itu pembunuh!!"

    "Ebenzer! Kau sudah keterlaluan!!"

    Ebenzer emosi nya meledak. Dia boleh saja dianggap pembohong oleh seisi dunia, tapi tidak oleh orang ini, "Tidak!! Aku menyampaikan kebenaran!! Mungkin saja dia lepas emosi dan membunuh Mrs Heyden?! Mungkin saja dia menyuruh orang lain untuk membereskan semuanya sebelum membuat alibi!! Mengapa kau melindunginya?! Kau ini sahabatku atau bukan?! Jawab aku pengkhianat!!"

    BUK!!

    Alto meninju wajah Ebenzer hingga pemuda itu oleng. Ebenzer menatap Alto perlahan dengan wajah tidak percaya. Sementara Alto sendiri terlihat terkejut dan menyesal telah melakukan hal tadi.

    Dengan nada bersalah dia berkata, "... mungkin kau perlu istirahat Ebenzer... pulanglah..."

    DUK!

    Ebenzer berlari setengah menabrak Alto. Nampaknya dia begitu kecewa karena tidak di percayai orang yang telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun.

    Clear yang tadi terlihat garang, sekarang terlihat bersalah. Dia mungkin tidak menyangka kalau tantangan kecilnya bisa merusak persahabatan dua orang laki-laki itu, "Maaf ya..." Ucapnya.

    "Ah tidak... Dia mungkin sedikit kecapekan... Justru aku yang minta maaf padamu..." Jawab Alto, "Tidak bisanya Ebenzer berbohong. Dia memang bodoh, tapi bukan pembohong"

    "...ayo kembali ke kelas..."

    Alto melempar pandang kelangit mendung, "Kau duluan saja..."

    Tak terpelakan, Alto juga sama sedihnya dengan Ebenzer. Maka Clear pun berjalan sendiri menuju kelas. Dia bahkan tidak memakai alas kaki karena tergesa-gesa ke tempat itu.

    Alto menghela nafas sambil bersandar. Dia terus-terusan memandang langit dengan mata hampa. Bahkan angin dingin tak mampu membuatnya lebih merana lagi. Setelah lewat beberapa menit, dia memutuskan untuk kembali kekelas dan pulang.

    Urusannya di sekolah hari ini sudah selesai, dia akan menyelesaikan sisanya besok, jika keadaan sudah tenang.

    Baru ketika dia melangkahkan kaki untuk berbali, dia melihat sebuah kantong plastik yang menarik perhatiannya. Bukan karena kantong itu bergambar wanita bikini, tapi karena itu plastik baru yang di letakan di bawah tangga yang semua komposisinya berdebu.

    Sebagai lelaki Alto memang cukup jeli melihat nilai-nilai kebersihan.

    Dengan penasaran, Alto meraih kantong plastik itu, dan melongok isinya.

    "Ini...?!"

    Pintu kelas di buka, dan Alto memasuki ruangan dengan wajah keruh. Di hampirinya tempat Clear duduk, "Ikut aku sebentar" Ucapnya yang diikuti tatapan mata bingung dari Clear.

    Diluar kelas, Alto berdiri membelakangi Clear,

    "Ada apa Alto? Bukannya aku sudah minta maaf...?" Ucap Clear yang mirip rengekan.

    "Kau membenci Mrs Heyden ya?" tanya Alto yang mengejutkan dan mengherankan Clear.

    "Sudah jadi rahasia umum kan? Kita memang saling benci"

    "...apakah kebencian itu begitu kuat hingga membuatmu ingin menyakitinya?"

    "Apa yang kau bicarakan?"

    "Jawab saja!"

    "...y-yah... aku tidak menyangkal..."

    Alto kemudian berbalik menghadap Clealite, "Bisa kau jelaskan tentang ini?" Ucapnya tegas sambil menyodorkan sebuah pecahan.

    Clear sedikit terkejut ketika di sodori pecahan vas dengan bercak merah di permukaannya, "Apa maksudmu, Alto?" Clear balik bertanya dengan nada tersinggung.

    "Aku menemukan ini di kantong plastik di bawah tangga. Ini adalah benda baru diantara tumpukan debu. Ada yang meletakannya dalam waktu dekat" Jawab Alto tajam.

    "Ya mana ku tau! Belum tentu aku yang meletakannya kan?!" Lalu Clear sadar akan maksud Alto, "Kau... kau menuduhku membunuh Mrs Heyden?? Seperti Ebenzer, Alto?!"

    "Aku tidak menuduh, aku cuma bertanya"

    "Caramu bertanya seperti menyudutkan orang..."

    "Aku cuma ingin memastikan. Ebenzer paling anti berbohong. Mungkin saja yang dia lihat orang lain yang mirip denganmu..."

    "Huh, jadi kau ingin main detektif-detektif-an??"

    Alto memandang Clear dengan tajam. Membuat gadis itu balas menatapnya dengan galak. Nyata sekali kalau Clear tidak suka di pojokan.

    "Ada sesuatu yang menggangguku..." Kata Alto dengan suara rendah

    "Apa karena Ebenzer tidak mampu menemukan mayat berwajah hancur itu?? Atau dia salah mengekori jejak darah??"

    "Clear, kenapa kau begitu emosi? Aku kan tidak mengatakan kau pelakunya"

    "Tapi gerak-gerikmu membuatku kesal! Si4lan, aku terlambat berdiskusi drama gara-gara kau!!" Bentak Clear kesal sambil berlalu. Alto yang masih ingin berbincang-bincang terpaksa menahan tangan Clear, "Tunggu sebentar!"

    Crep. Alto merasa ada yang basah di genggaman tangannya. Clear pun berhenti. Perlahan Alto membuka pegangan tangannya dan melihat telapaknya sendiri. Ternyata yang terasa kental dan basah tadi adalah darah! "Clear, kau berdarah!"

    Clear melihat luka yang katanya berdarah itu, "Ah, pasti gara-gara jatuh ke parit tadi..."

    Alto sedikit panik langsung mencermati luka Clear sambil mengeluarkan sapu tangannya, "Sini biar ku bebat!" Namun ketika akan membebat luka Clear, Alto melihat ada serpihan vas tertempel pada bagian sekitar luka. Sedikit mengerikan memang, ada pecahan keramik sepanjang tiga senti meter tertancap di kulit sesorang. Pecahan yang bercorak sama dengan contoh vas yang di bawa Alto.

    Dengan perlahan, Alto mencabut serpihan tersebut, "Clear..."

    Clear yang tadinya agak tenang menjadi marah lagi, "Apa??"

    "Apa benar kau tidak tau apa pun tentang yang di katakan Ebenzer?"

    "Bagaimana aku harus tau?! Berurusan dengan Heyden saja sudah membuatku muak!!"

    "Kau bicara saja yang sebenarnya terjadi. Aku disini bukan untuk mendesakmu"

    "Apa kau belum sadar? Dari tadi kata-katamu itu sudah mendesakku!"

    Alto mencoba bersikap sabar, "Dengar! Motif pecahan yang kutemukan sama dengan yang menempel di tubuhmu! Aku hanya bertanya, kenapa kau marah??"

    Clear menjawab dengan nada tinggi, menyeimbangi dengan gemuruh hujan petir di luar, "Jadi kenapa kalau aku tertusuk vas yang motifnya hampir sama?? Lagi pula, itu bukan bukti kalau aku yang memukul Heyden dengan vas!!"

    "!!" Alto sekarang benar-benar melepaskan Clear, "...jadi itu yang terjadi?? Kau memukul Mrs Heyden dengan vas??"

    Clear memandang kesal keluar jendela. Dia juga tak menjawab. Kata-kata yang tak sengaja terucap tadi sudah mengungkapkan semuanya. Gadis itu kemudian berjalan mendekati jendela, "Dari dulu aku memang sudah ingin melakukannya. Dan aku tidak menyesal"

    Gadis itu lalu memandang Alto dengan lembut, "Well, Alto, seperti sebagaimana pembunuh pada umumnya kalau kelakuannya tercium, dia pasti akan melenyapkan saksi. Dalam kasusku, saksi-saksi tersebut adalah kau dan Ebenzer"

    Alto langsung waspada, Clear wanita, dia mungkin bisa memang fisik! Namun tak dapat di pungkiri bahwa Clear memiliki sejarah kombat yang unik dengan melibatkan 8 pemuda berandal kampung di pasar.

    Clear kemudian mengeluarkan sesuatu yang berbentuk kotak hitam, dengan ujung pengapit seperti mulut kepiting. Taser.

    "Oh sh*t..." Umpat Alto dalam hati.
    [GM] Ebenzer[B]
    [GM] Ebenzer[B]
    GM[Game Master]
    GM[Game Master]


    Posts : 32
    Join date : 30.03.10
    Age : 29

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by [GM] Ebenzer[B] Wed Mar 31, 2010 10:16 am

    untuk membuat bulu kuduk berdiri, "Elwin-san menyuruhku untuk menata Lab sementara beliau ada urusan mendadak"

    Entah kenapa bayangan wajah Mrs Heyden yang terkubur terbayang-bayang di kepala Ebenzer ketika Mycale berkata begitu. Namun dengan segera Ebenzer mengalihkan perhatiannya, dia sudah jadi paraniod rupanya, "Baiklah... perlu ku bantu? Agar cepat selesai. Kasihan Zenos-san menunggu di perpustakaan sendirian"

    Mycale terdiam, seperti menimbang keputusan, "Baiklah," katanya akhirnya, "tapi tunggu sebentar. Tadi aku menjatuhkan toples yang berisi organ dalam katak. Isinya tersebar kemana-mana. Bagaimana kalau kau sapu sebelah sini dulu sementara aku membereskan kelakuanku?"

    Ebenzer bergidik ngeri, terlintas ada usus dan berbagai organ katak lainnya tersebar di seluruh ruangan, belum-belum dia sudah mual, "B-baiklah... maaf aku tidak bisa membantumu membereskannya"

    Lagi-lagi Mycale tersenyum, "Bawalah ini" Ucapnya sambil menyerahkan ponsel kepada Ebenzer, "Kau lebih membutuhkannya"

    "Tapi bagaimana denganmu?"

    "Aku bisa melihat lebih baik dalam kegelapan dari pada orang lain" setelah berkata begitu, Mycale memalingkan tubuhnya dan mulai hilang di telan kegelapan ketika menjauh dari Ebenzer.

    Glekh... Ebenzer menelan ludah ketika menyadari bahwa dia berada nyaris sendirian dalam Lab yang gelap. Bagaimana kalau tengkorak untuk pelajaran biologi tiba-tiba bergerak dan menghampirinya??

    Ebenzer langsung menggeleng kuat-kuat, mengganti bayangan seram tengkorak horor tersebut menjadi tengkorak yang yang nampang di lagunya Avenged Sevenfold berjudul A Little Piece of Heaven. Ternyata cukup berhasil.

    Selama menyapu, deru hujan yang mengguyur makin lama terdengar seperti orang berbicara dalam dialek dan bahasa demit. Dan semakin lama semakin parah, seperti ada yang berteriak dekat sekali dengan Ebenzer. Pemuda itu menjadi sangat tidak nyaman.

    Berkali-kali dia menekan tuts ponsel agar sinarnya tidak mati.

    Karena tidak konsentrasi, Ebenzer tidak sengaja menyodok tabung reaksi hingga jatuh. Dengan ngeri Ebenzer mencoba menangkap tabung itu, namun karena licin, si tabung malah terpeleset dari tangan Ebenzer dan jatuh semakin jauh. Menggelinding kearah kegelapan, ketempat Mycale membersihkan jeroan katak.

    Ebenzer mengerang merana. Di kumpulkannya keberanian dan tekad untuk mengambil tabung tersebut. Perlahan... sambil mencengkram sapu dan ponsel, Ebenzer melangkah semakin jauh. Matanya dengan awas menelusuri setiap ubin di bawah, walau pun dia menghindari sudut gelap di bawah meja.

    Bau amis menyengat hidung Ebenzer. Pemuda itu sampai menyernyit menahan baunya. Ternyata jeroan kata bisa begitu amis. Untunglah tadi Mycale mau memaklumi. Kalau tidak, mungkin Ebenzer sudah berkubang dalam amis yang baunya baru hilang setelah mandi kembang tujuh rupa seminggu.

    Sesuatu yang memantulkan cahaya ponsel dari bawah celah sempit lemari menarik perhatian Ebenzer, ketika diamati, ternyata benda tersebut adalah tabung reaksi yang di cari-carinya!

    Dengan penuh syukur, Ebenzer merangkak, dan setengah hati mengulurkan tangannya untuk mencapai tabung diantara celah sempit kegelapan. Dalam hati Ebenzer sudah berpikir yang tidak-tidak, kalau-kalau ada sesuatu yang menarik tangannya.

    Namun setelah tabung itu di keluarkan dengan susah payah, tidak terjadi apa-apa. Ebenzer leganya bukan main. Dia berdiri sambil membersihkan tangannya kotor oleh debu. Dengan iseng, dia mengamati isi lemari didepannya sambil menggosok-gosokan tangan.

    Awalnya isi lemari itu biasa-biasa saja, namun setelah di perhatikan, lemari kaca itu tidak tertutup secara sempurna, dan didalamnya ada berderet-deret toples yang didalamnya ada sesuatu yang mengambang.

    Ebenzer mendekatkan wajahnya lemari kaca, perlahan image sesuatu yang mengapung didalam toples itu mulai jelas. Dibawah cahaya lemah ponsel Mycale, Ebenzer menyaksikan sendiri isi toples itu adalah ginjal, paru-paru, usus,hati, dan yang lainnya. Dan benda-benda itu mirip dengan yang ada di gambar buku biologi Organ Tubuh Manusia.

    Pemuda itu mundur tertahan. Dia tak percaya melihat apa yang ada di dalam lemari tersebut. Dia ingin muntah. Ketika otaknya masih bekerja untuk menyerap informasi menjijikan tersebut, lampu ponsel Mycale perlahan meredup. Dan di pantulan lemari kaca, terlihat sang empunya ponsel berjalan kearah Ebenzer dari kegelapan.

    Ebenzer segera berbalik dan menyorotkan lampu ponsel kearah orang yang baru datang tersebut. Mycale bereaksi tak lebih dari menyernyit karena kesilauan dan sedikit berpaling, "Aduh, silau..." Keluhnya.

    Ebenzer perlahan menurunkan ponselnya. Dia memperhatikan bahwa Mycale mengenakan sarung tangan karet yang berlumuran darah. Dia juga membawa toples yang lain, di dalam toples tersebut ada jantung manusia dewasa mengapung dalam larutan formalin.

    Mata Ebenzer sampai melotot memandangi isi toples tersebut. Mycale yang melihat keterkejutan Ebenzer malah tertawa, "Ah! Ini? Sangat mirip bukan?"

    "Apa?" Tanya Ebenzer tergagap.

    Mycale yang tersenyum geli, pemuda itu melanjutkan, "Ini memang mirip aslinya, sengaja di buat begitu agar kita bisa mengetahui bentuk asli jantung kita. Ini properti sekolah lo"

    Sejenak Ebenzer terdiam, ternyata dia memang telah menjadi paraniod sejati. Dengan senyum getir Ebenzer pun berkata, "Yah, awalnya kukira itu organ betulan..."

    Mycale tertawa, "Haha, semua siswa bahkan guru mengatakan hal yang sama. Elwin-san dan aku yang membuat ini"

    Ebenzer ikut tertawa, tawa yang seperti orang tersedak, "Haha...begitu mirip..." Dia kembali tertawa lesu, entah karena lelah dengan perasaan curiganya sendiri, Ebenzer jadi mengutarakan dugaannya, "Tadi aku sempat berpikir yang tidak-tidak kalau itu organ betulan"

    Mycale tertawa lagi, "Yah, memang mirip sekali sih. Kadang aku masih tak percaya. Oh ya, ini darah katak lho"

    Ebenzer menunduk dengan senyum palsu dan masih setengah tertawa merana, "Aku punya pikiran aneh kau membunuh Elwin-san dan mengawetkan organnya... Hahahaha, bodoh sekali aku ini. Lucu ya? Hahaha..."

    Kali ini Mycale terdiam, seakan Ebenzer telah mengatakan hal yang menghinanya dengan wajah serius dia berkata pelan, "... Itu tidak lucu, Ebenzer"

    Ebenzer menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kikuk, "Ya aku tau. Bahkan aku sudah meracau kalau aku melihat Clear mengubur mayat Mrs Heyden. Kurasa ada yang salah dengan otak ku..."

    Senyum lembut terkembang di pipi Mycale. Dengan hati-hati, dia meletakan toples jantung yang di pegangnya kedalam lemari kaca seperti sedang meletakan anak kucing persia yan tertidur. Lalu dia berkata,

    "Well, kalau benar Clear mengubur mayat Mrs Heyden dan aku membunuh serta mengawetkan organ Elwin-san, maka kau jadi orang yang paling tidak beruntung hari ini karena telah menjadi saksi 2 tindak kejahatan sekaligus, aren't you Ebenzer?"

    Benar juga.

    "Ahahahaha, kau benar" Orang ini selera humornya bagus juga, pikir Ebenzer.

    Mycale memalingkan wajahnya dari lemari kaca dan memandang Ebenzer, "Dan saksi harus di lenyapkan, kau setuju Ebenzer?"

    Ebenzer tergagap, "Yah... dari sudut pandang pelaku... iya sih..."

    Mycale berjalan perlahan mendekati Ebenzer. Tangan kanan yang berbalut sarung tangan karet berlumuran darah meraih kebelakang punggungnya sendiri, dan ketika tangan itu di tarik keluar, ada sebuah pisau berukuran besar tersembul di dalam genggamannya.

    Ebenzer menelan ludah, jika Mycale bercanda, dia terlihat sangat meyakinkan, "M-Mycale-san... itu untuk apa...?"

    Namun Mycale tidak menjawab, dia hanya berjalan pelan secara konstan kearah Ebenzer. Bagi Ebenzer Mycale seperti hantu yang melayang.

    Ebenzer tiba-tiba lumpuh. Dia merasa ada aliran es yang membekukan seluruh syaraf motoriknya. Dia bahkan tak bisa berpikir. Sementara bayangan malaikat kematian terus menyergapnya.

    "Bercanda" Kata Mycale tiba-tiba sambil mundur, "Kau agak penakut, ya, Ebenzer?" Tanya Mycale sedikit tertawa.

    Ebenzer sudah kehilangan segala daya bahkan untuk menciptakan tawa getir. Dia terhuyung berdiri sembari berkata, "Mungkin aku butuh udara segar..." Lalu berjalan sempoyongan keluar lab setelah meletakan ponsel Mycale diatas meja terdekat.

    Mycale kembali menekuni pekerjaannya di lemari kaca, "Larilah, Ebenzer, lari"

    Ebenzer berbalik, "Apa?" Merasa mendengar sesuatu berbicara.

    "Tidak ada" Ucap Mycale sambil tersenyum.

    Kaki Ebenzer melangkah keluar lab yang gelap. Namun betapa kecewanya dia ketika mendapati seluruh sekolah juga mulai gelap. Lampu berdaya lemah mulai di nyalakan. Dan hujan tidak kunjung berhenti.

    Dengan gontai dia menyusuri lorong untuk kembali ke perpustakaan, mengemasi barang-barang, dan benar-benar pulang. Ini kali kedua dia tinggal di sekolah sampai selarut ini, yang pertama ketika ada pesta piama sekelas. Dia dan Alto kemudian berkeliaran ke seluruh sekolah diam-diam untuk berpetualang.

    Dan kekecewaan Ebenzer berlipat-lipat, semangatnya terjun bebas beberapa level ketika mendapati perpustakaan sudah kosong. Zenos sudah tidak ada di sana. Tidak bisa di salahkan juga, siapa pun akan bosan di tinggal sendirian di perpustakaan selama berjam-jam.

    Ebenzer menyambar tasnya. Tapi buku catatan yang terbuka diatas meja menarik perhatian Ebenzer. Oo, rupanya Zenos meninggalkan pesan padanya. Ebenzer mengira bahwa pesan itu adalah pamitnya untuk pulang.

    Namun isinya melenceng jauh, Zenos memintanya untuk datang ke ruang PKK.

    Ebenzer membuang nafas. Dia sudah merasa sangat malas. Namun di paksakan dirinya untuk bergerak lagi demi keutuhan kelompok.

    Setelah berjuang melewati lorong remang yang memiliki kontur bayangan seperti hendak memangsa mahluk hidup, Ebenzer pun sampai di ruang PKK. Lampu ruangan tersebut terlihat menyala, tanda kehidupan. Harusnya. Namun kelewat sunyi.

    Dengan agak ragu Ebenzer mendorong pintu hingga terbuka. Papan kayu itu berderik terbuka, di balik ruangan terlihat seorang pemuda sedang mengaduk sup pada panci kecil. Disekitarnya terlihat kacau balau oleh peralatan masak dan bahan-bahan.

    Mendengar suara pintu yang terbuka, pemuda itu menoleh, "Oh Ebenzer. Ternyata kau datang juga" setelah mengucapkan kalimat tersebut Zenos kembali menekuni kegiatannya, "Kebetulan sekali, masakannya sudah matang"

    Ebenzer berjalan pelan mendekati Zenos. Aroma masakan menggelitik hidungnya, membuat perutnya keroncongan.

    Zenos mematikan kompornya. Lalu dengan perlahan, menuangkan seluruh isinya kedalam dua mangkuk ukuran sedang. Setelah menambahkan sesuatu diatasnya, Zenos mengulurkan salah satu mangkuk tersebut pada Ebenzer, "Here"

    Sebenarnya tidak ada yang di inginkan oleh Ebenzer saat ini dari pada pulang, mandi, dan tidur. Dia tidak perlu makan. Perkara tengah malam nanti dia terbangun karena lapar, atau lambungnya perih gara-gara asam yang tak pernah berhenti menggerogotinya, dia tak peduli.

    Namun melihat Zenos yang sudah terlanjur membagi sebagian masakannya membuat Ebenzer tak enak hati jika menolak. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, Ebenzer menerima mangkuk menggiurkan tersebut.

    Namun Ebenzer tidak segera memakannya, dia memang sedang tidak berselera. Bukan karena supnya tidak enak. Dari aroma dan tampilannya saja cukup untuk membuat orang ngiler.

    Kuah yang cukup kental, dengan potongan kentang, wortel, dan daging. Serta beberapa siung daun bawang yang di potong kecil-kecil, siapa yang tidak tergoda? Hanya orang frustasi saja. Dan dialah Ebenzer.

    Zenos menyandar pada konter, mengambil sendok, dan bersiap untuk makan. Namun melihat Ebenzer hanya terdiam menatap mangkuknya, Zenos bertanya, "Ada apa?"

    Ebenzer menggeleng pelan, "Tidak ada apa-apa..." lalu dia menyuapkan satu sendok sup kedalam mulutnya, dan berusaha keras untuk menelan. Panasnya sup bermerica cukup banyak tersebut nampaknya mampu memberi Ebenzer kekuatan untuk terus menjejalkan makanan itu kedalam mulutnya.

    Zenos, sekali lagi, mampu menenangkan Ebenzer lewat jalan perut. Tapi Ebenzer penasaran, dari mana dia dapatkan semua bahan-bahan tersebut. Maka pertanyaan tersebut melontar begitu saja dari mulut Ebenzer, "Ngomong-ngomong, dari mana semua bahan-bahan ini?"

    Zenos menelan suapannya, lalu menjawab, "Aku dapat dari lemari pendingin kafetaria" Ruang PKK memang tersambung dengan dapur kafetaria.

    "Bagaimana?"

    "Aku di beri akses nyaris tak terbatas dari kepala sekolah keseluruh sekolah ini"

    "Wow..."

    Mereka kembali sibuk makan memakan. Selan beberapa menit, Ebenzer bertanya lagi, "Kenapa malah memasak disini?"

    "Aku bosan setengah mati menunggu kalian. Lagi pula, hujan-hujan begini membuat perutku lapar. Jadi kuputuskan untuk memasak saja. Agak susah sih mencari dagingnya" Jawab Zenos.

    "Oohh... Kau pintar memasak ya, Zenos-san" Ebenzer memuji, mengagumi rasa yang menggugah indera di lidahnya.

    "Aku tinggal sendiri sih, jadinya terbiasa memasak" Jawab Zenos sambil sedikit mengunyah,

    "Orang tuamu?"

    "Kecelakaan. Sejak kecil aku di panti asuhan"

    "Oh, maaf..."

    "Tidak apa-apa"

    Mereka kembali makan dalam tenang. Ternyata setelah merasa kenyang, Ebenzer jadi agak baikan. Namun perlu diakui, ada rasa yang sedikit aneh dalam masakan Zenos. Tapi enak sih.

    Zenos membereskan seluruh perlengkapan, namaun dengan sigap Ebenzer menawarkan diri, "Biar kuurus" Ucapnya. Tidak enak kan kalau hanya makan saja?

    Maka Ebenzer kini berjalan menuju dapur kafetaria sambil membawa peralatan masak yang kotor untuk di cuci. Ebenzer berusaha fokus untuk mencuci agar pikiran lain tidak merasukinya. Setelah membersihkan lemak membandel, Ebenzer jadi merasa sedikit haus. Minuman dingin mungkin akan sedikit membantu melegakan tenggorokannya.

    Maka lemari pendingin menjadi topik utama pikiran Ebenzer. Dengan tanpa curiga, dia membuka lemari tersebut untuk mencari minuman dingin.

    sayangnya, lemari tersebut nyaris kosong, dan tidak ada minumannya. Dengan sedikit kecewa, Ebenzer hendak menutup lemari tersebut. Namun sesuatu menahannya.

    Ada sebungkus plastik hitam di rak kedua kulkas. Bau amis tercium begitu menyengat. Rasa penasaran Ebenzer makin besar, dan dia sama sekali tidak bisa mengeremnya. Maka diambilnya plastik tersebut, ternyata cukup berat, lalu diintip benda apakah didalamnya.

    Tidak kelihatan jelas, plastik yang gelap menyamarkan bentuk dari si benda misterius. Ketika Ebenzer mencoba sudut lain untuk melihat kedalamnya, Plastik itu malah robek.

    Daging merah muda jatuh ke lantai, membuat noda darah yang cukup merepotkan untuk di bersihkan. Bentuknya lurus dan agak seperti tabung. Ebenzer berpikir mungkin itu adalah paha kambing atau semacamnya.

    Sambil mengumpat pelan, Ebenzer mencoba memasukan daging tersebut kedalam plastik. Namun potongan daging yang lain malah meloncat keluar dari plastik. Sesuatu yang lebih kecil, dan lebih ramping. Ebenzer memungut benda itu dengan penasaran.

    Sebuah objek yang memiliki panjang 10 cm-an, berwarna bercak darah, ramping, dan benda tersebut mirip sekali dengan...jari manusia...?

    Ebenzer buru-buru membuang benda itu jauh-jauh dengan perasaan jijik. Karena terbawa suasana, Ebenzer pun melemparkan benda berbungkus kantong plastik hitam tersebut ke lantai. Tak lama kemudian lututnya lumpuh, tidak mampu menopang beban tubuhnya lagi.

    Brak!! Ebenzer terjatuh menabrak konter di belakangnya, namun seketika pintu bawah konter terbuka, dan sesosok tubuh wanita terjembab keluar dari konter yang sempit. Kepala, tangan, dan kakinya sudah tidak ada, di potong dengan rapi. Darah sudah tidak keluar, seperti habis di sedot. Kulitnya pucat dan badannya mulai mengeras.

    Dari seragam mayat itu, kemungkinan besar dia adalah Saki, anak yatim piatu yang bekerja sebagai petugas kafetaria. Usianya tidak terpaut jauh dari Ebenzer.

    Ebenzer hanya bisa memelototi mayat tersebut, sebelum perutnya bergejolak dan isi perutnya menggelak ingin keluar. Tanpa bisa di tahan, Ebenzer pun muntah di tempat. Dia tidak peduli lagi dengan tindakan memalukannya tersebut. Karena didepannya ada seonggok daging mati dari manusia!

    Daging? Ebenzer kembali teringat bahwa di salah satu bahan masakan Zenos ada dagingnya... Jangan-jangan... Ebenzer pun kembali muntah dengan perasaan jijik, berharap bahwa lambungnya belum terkontaminasi benda haram tersebut, dan cepat-cepat dia memuntahkan apa yang dimakannya tadi hingga bersih.

    Cklek, pintu dapur di buka. Sinar dari luar dapur terhalang oleh sosok tinggi ramping tersebut, setengah keberadaannya seperti di telan kegelapan cahaya.

    Ebenzer menoleh perlahan. Keringat sedikit masuk kematanya, membuatnya tak bisa fokus. Dan juga wajahnya terlihat begitu memelas, pucat dan matanya seperti mata orang mati. Dengan mata itu, Ebenzer melihat Zenos berdiri diambang pintu, yang mana menyaksikan pemandangan dapur yang spektakuler.

    Tidak ada dari mereka yang berbicara. Otak Ebenzer terlalu penat sekarang untuk memikirkan apa yang akan terjadi.

    Namun Zenos dengan santainya mengambil tongkat pel, dan mulai membersihkan kekacauan yang terjadi. Ebenzer kebingungan, dia hanya bisa bergeming dari posisinya.

    Ketika Zenos mendekat, dengan tidak sengaja karena sedang mengepel, Ebenzer reflek menjauh, menimbulkan suara yang cukup gaduh.

    Zenos memandang Ebenzer seperti maklum. Kemudian dia bersujud di samping mayat tersebut, dan memasukannya kembali kedalam konter, namun gagal karena Saki tidak muat masuk sana seperti sedia kala. Zenos membiarkannya jatuh kelantai, "Maaf kau harus melihat ini" Katanya.

    "Saki gadis yang baik. Aku juga tidak mengharapkan akan jadi seperi ini. Andai saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Jika saja dia tidak mengancamku dengan memberitaukan semua orang bahwa aku melarikan diri dari rumah sakit, tentu aku tidak perlu membunuhnya" Zenos bercerita.

    Zenos membunuh--

    Lalu Zenos memandang Ebenzer, "Isn't she delicious?"

    Ebenzer tidak mengerti, "Wha?"

    "Makes you wanna eat her..."

    "Kau bicara apa...?"

    "I did it, last night. I ate her. I ate her right after i killed her"

    Ebenzer memandang Zenos tidak percaya. "Bagaimana--?"

    "Dan sekarang aku memakannya lagi" Ucap Zenos sambil tersenyum memandang Ebenzer, "Kali ini kau juga ikut memakannya"

    Ebenzer akhirnya mengetahui maksud Zenos. Perutnya kembali bergejolak, dia pun muntah lagi di depan Zenos.

    "There there... Lama-lama kau akan terbiasa" Kata Zenos menghibur sambil menepuk-nepuk punggung Ebenzer. Dengan segera Ebenzer menepis tangan itu dan merangkak menjauh secepat mungkin.

    "Stay away..." Ucapnya gemetar dengan suara parau. Tapi Zenos malah menyeringai lebar, wajah yang tak pernah dia tunjukan selama berada di Edelmeier High sebagai murid teladan, seluruh image Zenos yang pendiam, dingin, dan jarang berbicara tergantikan dengan apa yang dilihat Ebenzer sekarang,

    "Menurutku kau juga kelihatan enak, Ebenzer..." Suara Zenos mirip seperti serigala kelaparan, bergetar dan dalam, "Aku jadi ingin memakanmu..." Mahluk jenius tapi gila itu berjalan mendekati Ebenzer.

    Ebenzer yang setengah lumpuh berusaha menjauh, namun apa daya, Zenos lebih cepat darinya. Dan sedetik kemudian, pemuda itu sudah menghimpit tubuhnya di lantai dan mencengkram leher Ebenzer kuat-kuat dengan tangan kiri.

    Zenos memandangi Ebenzer dengan beringas, "Sebaiknya kumulai dari mana dulu ya...?" Katanya pada diri sendiri, sementara tangan kanannya terjulur untuk mengambil pisau dari atas konter. Ebenzer berjuang keras untuk bisa melepaskan diri. Sepertinya nyaris percuma, Zenos berkali lipat lebih kuat darinya.

    Kata 'Tolong' juga tersangkut pada tenggorokannya dan tak penah sampai keluar. Hanya suara tak jelas yang terdengar. Ebenzer merasa kepalanya seperti mau meledak gara-gara kekurangan oksigen. Dan sepertinya sebagian dari kesadaran meninggalkannya ketika pisau Zenos sudah teracung tinggi, menghalangi cahaya lampu.

    Zenos menusukan pisau itu dengan sangat perlahan namun penuh tekanan pada bahu kiri Ebenzer. Ebenzer sontak menjerit tertahan, pisau itu menembus kulitnya, daging, bahkan berusaha melubangi tulangnya. Ebenzer makin keras menggelepar untuk melepaskan diri, tidak tahan dengan rasa sakitnya.

    "How does it feels?" Tanya Zenos sambi menambah tekanan pisau. Ebenzer semakin menjadi-jadi, dia mulai mencakar tangan Zenos, namun yang mencengkramnya tak menunjukan tanda-tanda akan melepaskan, "Feels good, huh?"

    Otak Ebenzer di paksa berpikir cepat, tangannya mulai meraba-raba lantai untuk mencari sesuatu yang bisa membantunya lepas. Sesuatu menyentuh jarinya, sepertinya benda itu adalah sendok. Ebenzer segera benda tersebut dengan susah payah, dan menghantamkannya sekeras yang dia bisa ke pelipis Zenos. Sendok tersebut sampai bengkok parah.

    "Ugh!!" Zenos mengerang memegangi pelipisnya yang memerah. Ebenzer tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Cukup sulit baginya untuk kembali fokus dengan instan sementara paru-parunya memprotes oksigen lebih banyak. Namun dia tak peduli, Ebenzer segera lari dari tempat itu.

    Sayangnya, belum genap dua langkah, tangan Zenos sudah menjerat pergelangan kaki Ebenzer dan membuat mangsanya jatuh menghantam lantai, bersebelahan dengan mayat Saki.

    "You can't run!!" Geram Zenos sambil menarik kaki Ebenzer. Ebenzer menyentakan kakinya sekeras yang dia bisa, namun cengkraman tersebut tidak mengendur. Lalu dengan sisa kekuatannya, Ebenzer membenturkan tangan Zenos ke pinggiran konter yang tajam dengan kaki beberapa kali.

    "Argh!!" Cengkraman Zenos lepas, Ebenzer segera angkat kaki dan berlari keluar dengan langkah terseok. Nafasnya bergaung di dalam rongga dadanya, kontras dengan hujan yang makin lebat.

    Seluruh sekolah sudah benar-benar gelap. Namun Ebenzer tau satu tempat yang pasti dia tuju: Gerbang sekolah. Gerbang yang menghubungkan Edelmeier High dengan dunia luar.

    BRAK! Tanpa sengaja Ebenzer menabrak seseorang. Orang itu adalah Mycale. Dengan panik, Ebenzer menceritakan apa yang terjadi, "Mycale!! Ayo kita pergi!! Zenos mau memakanku!!"

    Mycale memegang pundak ebenzer untuk menenangkan, "Tenanglah! Tarik nafas dalam-dalam. Apa maksudmu, dia ingin memakanmu?"

    Ebenzer tidak punya waktu untuk mengatur nafas atau tenang, "Dia ingin membunuhku!!" Jawab Ebenzer setengah berteriak dengan nafas tersengal-sengal.

    "Kenapa dia lakukan itu??" Tanya Mycale bingung. Ebenzer tak menemukan alasan pasti, namun dia menjawabkan hal pertama yang terlintas di dalam benaknya, "M-menurutnya aku terlihat enak? Entahlah!! Dia gila!! Dia mau membunuhku dan menjadikanku sup!! Lihat bahuku!!"

    Mycale tertawa, tertawa keras sekali sampai-sampai keluar airmatanya, " Puh! Hwahahahaha!! Kau lucu sekali, Eb! Apa segitu sukanya kau pada Zenos hingga berhalusinasi ingin dimakannya?? Kukira kau jalan dengan Alto??" Orang ini masih sempat bercanda pada hal yang sensitif bagi seluruh kaum adam.

    "Aku tidak bercanda!! Dengar!! Aku akan tetap lari, dengan atau tanpa kau!!" Seru Ebenzer kesal, dan bersiap untuk meninggalkan sekolah ini untuk selamanya.

    "Tunggu!" Mycale menahan tangan Ebenzer, dia masih terlihat geli sendiri, "Jadi kau berkata bahwa Zenos menganggapmu 'kelihatan' enak begitu?"

    Ebenzer mulai kesal, namun sebelum dia mengeluarkan uneg-unegnya, Mycale sudah melanjutkan, "Tapi, hey, aku sependapat dengan Zenos"

    Kali ini Ebenzer terdiam. Kekesalannya tergantikan oleh prasangka dan ketakutan, "Apa maksudmu...?"

    Mycale tersenyum, senyum yang sama dengan topeng Grim reaper, "Dagingmu pasti empuk ya, Ebenzer? Tulang muda ini juga, sumsumnya... Pastinya akan sangat menyenangkan untuk membedah tubuhmu..."

    Deg! Ebenzer mendorong Mycale sekeras yang ia bisa dan berlari sekencang-kencangnya dari tempat itu. Keputusannya sudah bulat untuk pergi ke kantor polisi untuk meminta perlindungan. Entah maksud Mycale bercanda atau serius-- orang itu kalau bercanda kadang keterlaluan-- namun Ebenzer tidak peduli. Dia harus lari!

    Ebenzer terus berlari dan berlari. Seluruh raga, jiwa, dan pikirannya terpusat pada satu hal: lari! Tidak tak memperdulikan rengekan kakinya karena di paksa lari melintasi sekolah yang luasnya nyaris selapangan golf ini.

    Ketika sedang konsenstrasi berlari, Ebenzer mendengar sesuatu,

    "Ebenzer-kun"

    Entah apa yang terkandung dalam suara tersebut, namun itu cukup untuk membuat Ebenzer berhenti. Ebenzer menoleh kebelakang, dan dari lorong yang gelap, muncul si pemilik suara, dialah Clear si camerawoman amatir yang tangannya tidak pernah jauh dari handycam usangnya.

    Ebenzer menatap Clear dengan pandangan curiga. Namun gadis itu berbicara lagi, "Kau mau kemana? Bukankah kita harusnya berdiskusi?" Dengan handycam menyala, Clear terlihat seperti wartawan yang sedang menjegat artis untuk di diinterview paksa.

    Berbohong, atau jujur?

    "Aku ada keperluan mendadak..." Gumam Ebenzer parau.

    Clear tertawa, "Di tengah hujan deras begini? Nanti kau sakit lagi. Lagi pula." gadis itu mendorong sedikit objek yang tertutup bayangan, objek itu langsung jatuh berdebam ke lantai, "Sepertinya Pak Penjaga Sekolah sedang kurang enak badan"

    Objek yang barusaja jatuh tersebut adalah Penjaga Sekolah yang wajahnya hancur gara-gara di pukuli dengan benda tumpul. Giginya banyak yang copot, rahangnya retak, hidungnya patah, darah kering terlihat mengalir dari hidung dan telinganya.

    Ketakutan merayapi Ebenzer, namun dia mencoba untuk memendamnya.

    "Hey, what's with the long face??" Tanya Clear santai sambil mendekat perlahan. Setiap langkah maju yang dilakukan Clear adalah satu langkah mundur yang di buat Ebenzer. "Ada apa Ebenzer? Kenapa kau mundur?" Tanya Clear lagi.

    "J-jangan mendekat..." Ebenzer semakin mundur. Duk! Gara-gara tidak melihat, Ebenzer tersandung sesuatu dan jatuh terduduk. Dia langsung sadar apa yang di sandungnya tadi, mayat tukang kebun!

    Tukang kebun itu kurang lebih bernasib sama seperti penjaga sekolah, tewas oleh pukulan benda tumpul yang beruntun.

    Ebenzer sedikit bergidik dan bergerak menjauh, namun jarak antara dia dan Clear semakin sempit, "J-jangan mendekat!!" Ucap Ebenzer memperingatkan, namun Clear tetap maju... dengan pipa besi di tangan.

    "Mundur!!" Kali ini Ebenzer melemparkan batangan kayu yang berada tak jauh dari kakinya. Duash!! Kayu itu dengan sukses menghantam kening Clear.

    Gadis itu berhenti, kemudian dengan sekuat tenaga, dia melemparkan pipa besi yang di genggamnya kearah jendela stained glass di samping Ebenzer.

    PRANG!!

    "Aarrgh!!" Ebenzer berusaha melindungi diri dengan membenamkan kepalanya sisi dalam tubuhnya. Jratz!! Ratusan pisau kecil tersebut jatuh menghujam Ebenzer seperti hujan, seragam Ebenzer sedikit terobek, namun sebagian besar pecahan kaca tersebut menancap pada kulitnya, menciptakan lubang yang mengeluarkan darah.

    Ebenzer mengerang sambil berusaha mencabut pecahan kaca yang paling besar. Rasanya sakit sekali. Ternyata kaca itu cukup dalam menembus dagingnya hingga dengan tenaga sendiri, Ebenzer tak mampu mencabutnya. Namun usahanya terhenti ketika tangan Clear merengguk tangan Ebenzer dan menarik pecahan kaca tersebut dengan kasar.

    "Graaah!!!" Ebenzer berteriak tertahan. Tapi Clear tidak menunggu, dia langsung mencengkram kerah Ebenzer dan menodongkan pecahan kaca tersebut di depan muka si laki-laki.

    "Hey Ebenzer, bagaimana kalau ku buat suatu permainan. Peraturannya simpel. Lari dan sembunyi... Jangan sampai kau tertangkap. Lalu temukan ini" Clear menambahkan sambil mengangkat tangan kirinya yang memegang pecahan kaca hingga pergelangannya yang dililiti rantai gelang.

    Rantai gelang milik Alto.

    "Alto...!" Ebenzer bereaksi.

    Clear mendorong pecahan kaca tersebut hingga nyaris menyentuh pipi Ebenzer, menyuruhnya untuk diam. "Do you understand?"

    Ebenzer tidak menjawab. Rasa sakit dan takut menguasai dirinya, membuatnya ingin menangis. Clear mengulangi pertanyaannya dengan membentak, "Do you understand?!"

    Ebenzer mengangguk di paksakan. Clear tersenyum puas, "Good" Lalu Clear menancapkan kembali pecahan kaca tersebut ke bahu Ebenzer yang sudah berlubang gara-gara zenos. Tak ayal Ebenzer menjerit lagi.

    Sementara Ebenzer masih berkelenjotan di lantai, Clear berdiri, meraih kamera yang dia letakan dengan strategis di bawah agar bisa merekam kejadian tadi, dan bersuara, "Kau punya 30 detik untuk pergi dari sini. Dan ingat... jangan sampai pemburu menangkapmu... kami tidak akan segan-segan"

    Kamera dalam posisi siap, menyorot Ebenzer yang terbaring.

    "1... 2... 3..."

    Ebenzer mencoba memaksa tubuhnya untuk bergerak. Namun pada hitungan ke delapan, tubuhnya tidak juga mau diajak kompromi. baru pada hitungan ke 14 Ebenzer mulai berdiri.

    "16... 17... 18..."

    Dengan langkah terseok-seok, Ebenzer melempar kakinya yang lemas untuk berlari. Sayang dia hanya bisa berjalan timpang seperti orang cacat.

    "25... 26... 27..."

    Ebenzer menambah kecepatannya. Dan pada hitungan ke 29, sosoknya sudah hilang di telan lorong.

    "30..... Ready or not, here we come..."
    [GM] Ebenzer[B]
    [GM] Ebenzer[B]
    GM[Game Master]
    GM[Game Master]


    Posts : 32
    Join date : 30.03.10
    Age : 29

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by [GM] Ebenzer[B] Wed Mar 31, 2010 10:16 am

    ----

    Hari-hari membosankan dan rutin di Edelmeier High telah berubah menjadi mimpi buruk bagi Ebenzer. Dimana-mana dia menemukan mayat yang di bunuh dengan berbagai cara. Bahkan di kelasnya, seluruh murid yang tersisa karena menunggu hujan reda tidak akan pernah melihat matahari lagi karena pandangan mereka tertutup kolam darah.

    Ebenzer bisa saja lari dengan memanjat tembok escape route biasanya dia membolos. Namun Clear mengatakan bahwa mereka menyandera Alto. Entah apa tujuannya, yang pasti jika penyanderanya adalah orang psycho ini, pengertian sandera akan berbeda.

    Sekarang, setiap lorong, jendela, pintu, belokan, celah gelap, bahkan langit-langit seperti bersekongkol hendak membunuhnya. Ebenzer ngeri membayangkan kalau sosok salah satu dari pencabut nyawa itu memunculkan bayangannya dari kegelapan.

    Tak pernah sedikit pun jantung Ebenzer bedetak dengan normal. Nafasnya memburu tak terkendali, tangannya gemetar bukan karena udara yang dingin, namun karena takut.

    Setiap langkah yang dia langkahkan kedepan adalah menuju kematian. Namun, jika dia melihat kebelakang, maka dia akan mendapati tangan menjulur dari kegelapan untuk menangkapnya.

    Ketegangan intens yang dirasakannya membuat kedua lututnya gemetar dan nyaris tidak mungkin baginya untuk berjalan, apa lagi berlari. Selain tekanan dari luar, dia jgua tertekan oleh detak jantungnya yang berdebar terlalu kencang, dan nafasnya yang tidak teratur.

    Tapi dia tidak punya waktu untuk takut, dia harus segera menemukan Alto.

    Sekarang berpikirlah, dimana mereka akan menyembunyikan Alto...

    Terlintas di pikiran Ebenzer satu tempat, Laboratorium. Tempat itu memang sudah selalu mencurigakan dari awal. Dan bukankah tempat seperti itu cocok bagi orang-orang sejenis mereka?

    Maka Ebenzer berjalan sepelan mungkin, secepat mungkin, dan se 'tidak terlihat' mungkin untuk mencapai tempat tersebut. Dia menajamkan telinganya agar dapat mendengar suara sepelan apa pun. Suara selain dirinya.

    Pintu Lab terbuka, Ebenzer mengendap perlahan, kemungkinan ada seseorang yang menunggunya cukup besar, mengingat reputasi tempat ini tidak begitu bagus. Ruangan gelap total, dia hanya bisa melihat cahaya samar yang terbias dari lampu koridor beberapa meter di luar.

    Seperti prajurit pengitai, Ebenzer mengendap-endap di bawah meja. Hanya saja, prajurit pengintai tidak ketakutan seperti ini.

    Ebenzer sudah tidak mempedulikan bahwa bau amis sudah sedemikian menyengat. Apa Mycale tidak melakukan pekerjaannya dengan baik tadi?

    Dengan perlahan, Ebenzer mengecek seluruh Lab. Ruangan ini sempit, dan penuh barang-barang yang dapat di jadikan senjata, namun jika di sergap dalam ruangan ini, tentu dia tidak bisa apa-apa. Sekarang dia berdoa lebih dari kapan pun.

    Dia berjalan hingga sudut terujung dari Lab. Sudut itu gelap, di gunakan untuk menumpuk kardus-kardus tidak terpakai. Dari balik tumpukan kardus tersebut, Ebenzer melihat ada rambut hitam yang tersembul dari salah satu kardus.

    Dengan harapan membuncah, Ebenzer menarik sosok tersebut, "Alto..!"

    Bruk!

    Ternyata itu bukan Alto, melainkan Elwin-san. Guru biologi itu menerawangkan matanya yang kosong keeternit lab. Bekas darah kering terlihat mengalir di mulut dan hidungnya.

    Dengan panik Ebenzer menarik tubuh Elwin-san agar keluar dari celah sempit kardus-kardus tersebut, "Elwin-san? Elwin-san?! Kau tidak apa-apa--?!"

    Namun kata-kata Ebenzer terpotong ketika mendapati tubuh Elwin hanya di sambungkan oleh tulang belakang dan sedikit kulit dan daging. Sisanya kosong, tidak ada apa-apa diantara dada atas dan pinggang. Seluruh organ dalam Elwin di badan telah di korek dan di pisahkan dari jasadnya.

    Ebenzer tersentak mundur. Guru yang begitu dikaguminya teronggok menyedihkan seperti daging busuk di pojok Lab. Dan organnya... Ebenzer melirik sedikit kearah lemari kaca,

    Dan organnya di pajang di dalam toples?!

    Ebenzer ingin muntah lagi. Ini terlalu berat untuknya. Namun jika dia muntah disitu sekarang, dia akan menambah penghinaan pada jasad Elwin dan juga, para 'pemburu' mungkin akan menyerangnya saat dia sedang asik memuntahkan isi perut.

    Jadi, dengan tangan gemetar, Ebenzer mengambil kain taplak dari laci lemari, dan menyelimuti tubuh Elwin-san. Memang taplak itu tak cukup besar untuk menutupi kakinya, tapi paling tidak, dia tidak akan terekspos. Sedikit bersyukur karena didalam ruang gelap, dia tidak terlalu memperhatikan detil sang korban...

    "Baik sekali kau, Ebenzer"

    DEG!!

    Jantung Ebenzer seperti berhenti berdetak ketika mendengar ada bisikan berbahaya yang mengalir masuk melalui telinga kirinya. Tubuhnya mematung dan mulai gemetar.

    "Ternyata selain enak, kau juga baik hati ya Ebenzer?" Suara Zenos yang dingin menusuk terus bergaung dalam kepala Ebenzer. Zenos kemudian mencengkram sisi tubuh Ebenzer dan mengendus lehernya. Ebenzer yang ketakutan tidak bisa bergerak sedikit pun.

    "Shall I taste a bite?"

    CRASH!!

    Dengan kuat Zenos menggigir leher Ebenzer hingga darah muncrat keluar. Ebenzer berteriak dan mulai meronta. BUK! Ebenzer berhasil meloloskan diri, mundur kearah yang berseberang dari Zenos sampai menabrak rak. Rasa sakit di lehernya tidak seberapa, namun tetap saja perih.

    Zenos menjilat darah yang menodai sekitar bibirnya, lalu menyeringai, "Manis. Aku jadi ingin lagi" Sebuah kapak pemadam kebakaran berkilat di tangan Zenos. Kapak yang berlumuran darah.

    Namun alih-alih menyerang Ebenzer dengan kapak, Zenos malah meletakan benda itu di atas meja dan mengeluarkan gunting tanaman, "Untuk orang seukuran dirimu, aku tidak akan menggunakan kapak. Hanya akan membuatmu tercecer terlalu banyak"

    Ebenzer setengah merangkak mundur, mencoba berjalan dalam gelap. Beberapa kali dirinya tersandung segala macam peralatan lab, namun dia terus berusaha menjauh dari Zenos. Bergerak pelan agar tidak memancing gerakan tiba-tiba dari si predator.

    "Oh, aku melupakan ini" Zenos mengeluarkan handycam dari sakunya. Handycam yang tak salah lagi milik Clear, "That damn b*tch asked me to shoot picture of you. For documentation i guess"

    Zenos cukup lama merekam gambar Ebenzer yang tidak bergerak lebih dar bernafas berat dan menyusut ketakutan.

    "What's the tense?" Kata Zenos setengah tertawa, "Bergeraklah agar rekaman ini jadi menarik" Lanjutnya sambil menngayunkan gunting tanaman kearah Ebenzer.

    Ebenzer, sedikit me mekik berguling kesamping untuk menghindari dari terjangan Zenos. Gunting tanaman menghantam lemari kaca di belakangnya, membuat beberapa tabung reaksi berhamburan.

    Sayangnya, dalam usaha penghindaran tersebut, Ebenzer menghantam meja, membuat pinggangnya memar dan sakit.

    Tiba-tiba Zenos menerjang lagi, kali ini Ebenzer hanya bisa menghindari tipis. Bergidik ngeri ketika melihat pantulan sinar dari gunting tanaman tersebut menancap di permukaan meja. Berusaha meloloskan diri, Ebenzer berguling ke bawah meja, merasa ngeri ketika tangan Zenos menyambar bagian belakang kerahnya.

    "Lepaskan!!" Teriak Ebenzer sambil meronta, dan akhirnya berhasil lolos. Berlari secepat mungkin, dengan menabrak berbagai benda di perjalanannya. Meninggalkan tempat terkutuk itu. Kakinya terus berlari menyusuri lorong. Dibelakangnya, Zenos terus berjalan dengan santainya, seakan yakin mangsanya tak bisa lepas.

    Melihat kepercayadirian Zenos membuat Ebenzer gelisah. Ebenzer semakin mempercepat laju larinya. Hingga dia sampai pada lorong utama, tempat dimana loker para siswa di letakan.

    Sadar tidak bisa berlari selamanya dengan energi yang terus di kuras, Ebenzer bersembunyi di salah satu lorong tersebut. Ternyata loker tempat dia bersembunyi adalah loker milik pemain football.

    Bau seragam yang belum di cuci merusak hidung Ebenzer. Tapi biarlah hidungnya rusak, asal jangan jadi makan malamnya Zenos. Di gunakannya seragam bau keringat itu untuk menutupi dirinya, sekedar jaga-jaga.

    Terdengar suara langkah di ujung lorong. Zenos sudah dekat! Ebenzer mencoba sebisa mungkin untuk tidak bersuara.

    Langkah kaki Zenos terhenti. Beberapa detik kemudian dia bergerak lagi, "Ebenzer... aku tau kau bersembunyi disini... Keluarlah..." Panggil Zenos sambil mengayunkan kapaknya dengan pelan, membuat suara benda tajam yang menebas angin.

    "Ebenzer... I can smell you, boy...." Suara Zenos terdengar makin mendekat...

    "Jika kau tidak mau keluar..." Langkah itu berhenti, "maka aku yang akan mendatangimu!!"


    BRAK!!


    Suara loker yang di tebas terdengar membahana di seluruh lorong. Ebenzer menekap mulutnya agar tak bersuara.

    "Masih belum mau keluar juga?? Baiklah!! Kita akan sedikit berolah raga!!"

    BRAK!!!

    BRAK!!!

    BRAK!!!

    Satu persatu loker di hancurkan oleh kapak Zenos. Ebenzer semakin menciut ketika suara kehancuran itu perlahan mendatanginya.

    "Dimana kau, Ebenzer kecil?"

    BRAK!!!

    "Come here little kitty kitty..."

    BRAK!!

    "Don't be shy now"

    BRAAK!!!

    Ebenzer menegang ketika Zenos berhenti tepat di depan lokernya. Tubuhnya gemetar tak terkendali, dan keringat sudah membasahi seluruh seragamnya. Ebenzer memeluk tubuhnya sendiri dengan keras agar tidak gemetar.

    "Hehehe...." Zenos terkekeh menyeramkan. Kapak diangkat... lalu dengan kecepatan penuh, di ayunkan membelah loker. Ebenzer melotot ketika melihat kapak itu berayun di dari sela-sela lubang loker. Berayun untuk membelah loker beserta dirinya....

    BRAAKKK!!! KREEK!!

    "Huh? Sepertinya mengenai sesuatu..." Zenos mengintip dari sela-sela lubang besar hasil karyanya. Terlihat olehnya, sebuah seragam football yang terbelah oleh kapak.

    "Aaah! Ternyata cuma seragam football bodoh" Ucap Zenos pada dirinya sambil setengah tertawa. "Yap, ayo lanjutkan lagi!"

    Suara kapak menghancurkan loker kembali terdengar, berlanjut menjauh hingga ke loker yang paling ujung. Ebenzer yang menciut di dasar loker, saat ini sedang mensyukuri kekurangannnya yang berbadan kecil.

    Semua loker sudah di hancurkan oleh Zenos. Kini pemuda nomor satu di Edelmeier itu terdiam. Lalu dia mendesah, "Ternyata memang tidak ada disini yah? Haah... Aku buang-buang waktu..."

    Langkah kaki Zenos terdengar menjauh. Beberapa detik dalam kesunyian, Ebenzer memastikan bahwa setan itu sudah tidak berada satu area dengannya. Menurut feelingnya dia sudah pergi... Ebenzer membuang lega.

    Klek...

    Pintu loker terbuka sedikit, namun Ebenzer tak segera turun. Melalui celah-celah loker, Ebenzer mengintip keluar. Memastikan bahwa Zenos sudah tidak ada disana. Lorong utama terlihat sepi dan remang. Bekas kekacauan berserakan di sepanjang lorong. Beberapa potongan loker tergatung lemah pada engselnya sebelum jatuh ke lantai dengan suara miris.

    Tidak ada Zenos.

    Ebenzer memandang lewat celah sempit dengan pandangan lebih rileks. Tubuhnya terasa kaku akibat di dera ketakutan. Sekarang, yang perlu dia lakukan adalah berjalan mengendap-endap ke.....


    "I found you"


    Ebenzer tersentak ketika melihat Zenos juga mengintip ke dalam loker tempat dia bersembunyi. Sambil tertawa keras-keras, Zenos malah menutup loker itu hingga Ebenzer tak bisa keluar, lalu mulai memukuli peti besi itu dengan ganggang kapak.

    Ebenzer menjerit tertahan ketika mata pisau kapak itu akhirnya merobek perlindungannya. Dari robekan tersebut Zenos menarik paksa Ebenzer. Lalu dengan sentakan, melempar pemuda yang lebih kecil kelantai.

    "Oh, i really love this game. Wouldn't you agree, Eb?" Tanya Zenos sambil menendang sisi tubuh Ebenzer sampai terbalik. Zenos terus melanjutkan aksi penganiayannya sambil sesekali tertawa. Tentu saja kamera terus menyala.

    "Haha! Aku berterima kasih pada Clear untuk meminjamkan kameranya agar aku bisa merekam kebahagiaan ini" Ucap Zenos sambil menginjak-injak sisi tubuh Ebenzer. Ebenzer hanya bisa menggulung diri agar tidak terkena kerusakan lebih parah.

    DRAK!!

    "Argh!!" Ebenzer menjerit kesakitan ketika Zenos mematahkan tempurung lutut kirinya dengan ganggang kapak. "Hahahaha!! Kau harusnya lihat wajahmu, Eb!! Lucu sekali!!" Seru Zenos sambil tertawa terbahak-bahak. Sementara Ebenzer kelenjotan di lantai penuh pecahan loker, berteriak tanpa suara karena lutut kirinya sudah tidak berfungsi lagi.

    DUASH!!

    Zenos menendang Ebenzer hingga terseret setengah meter. Namun Ebenzer yang tadinya bergerak-gerak lemah sekarang tidak bergerak sama sekali. Zenos melempar pandangan sinis pada Ebenzer, "Oi... masa segini aja sudah mati? Nggak seru ah..." Ujarnya sambil mendekati Ebenzer.

    Namun tidak ada gerakan dari Ebenzer, pungung itu seolah tidak ada tanda kehidupan lagi. "Oi... you gotta be kidding me..." Zenos menggunakan kakinya untuk membalikan tubuh Ebenzer, mengecek apakah pemuda itu sudah mati atau belum.

    Tiba-tiba Ebenzer membuka matanya, dan dalam hitungan seperempat detik, dia sudah menyarangkan pecahan loker ke betis Zenos sedalam 5 cm.

    "Gaaaaah!!!" Zenos berteriak, dia terbungkuk untuk menekan darah yang mengucur bagai keran bocor dari kakinya. Ebenzer tidak menyia-nyiakan momen tersebut, dia segera berdiri, menahan rasa sakit yang luar biasa di lututnya, dan memaksa kakinya untuk pergi dari situ.

    BRAK!! zenos mencoba menghantamkan kapaknya pada Ebenzer, namun Ebenzer, entah bagaimana, bisa menghindar.

    Zenos menggeram kesal, di hiraukannya darah yang mengalir dari betis, lalu dia ancang-ancang lari mengejar Ebenzer.

    "My my, Zenos-kun terluka??"

    Suara wanita menghentikan langkah Zenos. Pemuda itu kemudian berbalik, dan mendapati Clear duduk diatas loker sambil tersenyum sejuta arti.

    "Oh, kamu" Sapa Zenos singkat.

    Clear terkekeh, "Apa itu darah dari mulutmu Zenos?"

    Zenos menjawab ringan, "Ini darahnya Ebenzer... rasanya manis sekali..."

    Clear melanjutkan lagi, "Kau sudah cukup bermainnya Zenos," sambil berkata seperti itu, Clear melompat turun dari loker, dan menepuk pipi Zenos, "Sekarang giliranku bermain dengannya"

    Setelah berkata begitu, Clear mendekatkan bibirnya pada bibir Zenos, lalu menjilat sisa darah Ebenzer yang masih tertinggal disana, "Let mommy take care of things" Clear mengambil lagi kameranya dan berjalan menjauh.

    ----

    "Ngh..."

    Perlahan Alto membuka matanya, ruangan disekitar terlihat cukup gelap, hanya ada berkas sinar pucat dari empat batan lilin kecil berwarna merah. Namun sebelum kesadaran merasukinya, kesakitan luar biasa yang berpusat di kedua telapak tangan Alto menyengatnya.

    Berusaha mengangkat kepala yang seberat batu, Alto menoleh kekanan kiri, mendapati kedua tangannya rentangkan dan di paku dengan pasak sepanjang 10 cm. Darah mengalir pelan dari kedua lubang besar tersebut.

    Alto pun menyadari bahwa dirinya di salib di sebatang papan kayu dan kakinya yang telanjang terikat kuat oleh tali tambang, nyaris menyebabkan darah tidak bisa mengalir.

    Kesadarannya membuat kesakitan bertubi-tubi melanda Alto. Namun pemuda itu menahan teriakannya menjadi erangan.

    "Oh, kau sudah sadar"

    Alto mendongak melihat siapa yang bersuara. Didepannya, Mycale sedang duduk dengan kursi dibalik, menyandar kedepan pada punggung kursi. Tersenyum padanya.

    "M-mycale... Apa maksudnya semua ini...?" Tanya Alto pelan.

    Mycale mengangkat tangan, menyuruh Alto untuk diam, lalu berkata, "Simpan tenagamu, Alto. Simpan untuk pertunjukan utamanya. Kami tidak mau kau kehilangan suara bahkan sebelum pesta di mulai. Kalau mau bersuara nantis aja, nanti kau boleh berteriak sesuka hatimu"

    "A-apa..?" Alto tidak yakin pada dirinya sendiri. Apakah Mycale yang melakukan ini padanya? Namun dia teringat oleh Clear. Mungkin Clear yang membuatnya seperti ini. Tapi kenapa ada Mycale juga? Apakah Clear menyuruh Mycale mengawasinya? Berarti Mycale dan Clear bersekongkol?

    "Apa yang akan kau lakukan padaku?" Tanya Alto berhati-hati.

    Mycale terlihat berpikir, kemudian dia menjawab "I dunno... Aku belum memutuskan... Mungkin aku akan tanya pendapat Clear dan Zenos dulu, ya?"

    Jadi benar! Clear dan Mycale bersekongkol! Tapi... Zenos juga??

    Mycale membuka suara, "Jangan khawatir, kita tidak akan memulai pestanya tanpa temanmu, Ebenzer. Sabar ya sampai dia menemukan kita"

    Alto terkejut, "J-jangan libatkan Ebenzer!"

    "Sudah terlambat untuk itu"

    ----

    BLEGAAAR!!!

    Petir menyambar keras sekali. Lorong sekolahyang gelap untuk sekian detik menjadi terang menyilaukan. Garis kontras terlihat membujur di setiap pertemuan cahaya dan bayangan. Seakan menunjukan pertikaian antar dua unsur berseberangan tersebut.

    Ebenzer menyeret dirinya sejauh mungkin. Cidera di lutut membunuhnya. Sakit bukan main. Namun Ebenzer tetap memaksakan diri. Dia sudah terlalu jauh menjeburkan diri kedalam permainan setan ini.

    Sekarang yang ada didalam pikirannya hanyalah menyelamatkan Alto. Dia sudah tidak peduli lagi bahwa dirinya dikejar-kejar psycho. jika tertangkap, maka dia akan melawan. Jika mati, itu mungkin takdirnya. Dia hanya berharap kematiannya tidak panjang dan menyakitkan.

    Bruak!!

    Pegangan Ebenzer meleset, menyebabkan dia menghantam lantai dengan sukses. "SH*T!!!" Maki Ebenzer keras-keras sambil memukul lantai.

    Apa salahku?! Jerit Ebenzer dalam hati. Sedetik kemudian dia terisak tanpa air mata. Dia sudah merasa muak dengan semua ini. Dia begitu ingin semua berakhir. Perasaan takut dan tertekan selalu mendominasi dirinya, membuatnya ingin tenggelam kedasar bumi saja.

    Dia jadi teringat saat-saat dia menganggap dunia begitu membosankan. Saat dimana dia terkantuk-kantuk menekuni pelajaran sejarah, saat dimana dia dan Alto berebut antri makan siang, saat dimana dia, Alto, Clear, Mycale, dan Zenos berbincang sambil bercanda saat tugas kelompok sebelumnya bersama murid lain.

    "Why did it end...?" Gumam Ebenzer berusaha berdiri. Sambil kembali terseok, Ebenzer berjalan tak tentu arah, tidak yakin dia berjalan kemana.

    Bermenit-menit kemudian, meski dia tak yakin, Ebenzer sudah mencari ke hampir seluruh penjuru sekolah dan masih tidak menemukan Alto. Dia hanya bertemu dengan mayat. Lama-lama Ebenzer jadi 'buta' akan pemandangan mengerikan itu. Hatinya mulai tumpul agar tidak menyakiti jiwanya terlalu jauh.

    Ruang kesenian, ini ruangan yang kesekian kali nya dia datangi. Ruangan tersebut kosong melompong. Karena memang barang-barangnya di usung ke ruang sebelah karena ruangan ini akan direparasi. Lantainya sempat retak, dan seorang murid terluka karena jatuh dari retakan tersebut.

    Dikanan kiri ruangan tersebut ada sederet jendela dengan pemandangan lorong diluar ruang kesenian.

    Ebenzer menatap hampa pada ruangan tersebut. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Alto. Dia pun berjalan mengelilingi ruangan tersebut untuk memastikan. setelah yakin tidak ada apa-apa, Ebenzer berhenti didepan salah satu jendela. Beristirahat sejenak, tepatnya meratapi nasib.

    Namun tiba-tiba jencela didepannya berganti pemandangan, dan secepat petir meyambar, Clear sudah membuka jendela tersebut hingga Ebenzer dan Clear bisa bertatap muka tanpa penghalang.

    "Why hello there, Ebenzer" Sapa Clear dengan wajah menyeramkan. Secara teknis, kameranya duluan yang menyapa Ebenzer.

    "Wuaa!!" Otomatis Ebenzer kaget, dia spontan mundur kebelakang, namun dia terantuk kakinya sendiri dan jatuh menghantam lantai.

    Clear memanjat jendela, "Wah wah... sesenang itukah kau bertemu lagi denganku?"

    Ebenzer berusaha berdiri, namun tanpa pegangan apa-pun, kaki kirinya tidak mau diajak kerja sama untuk berdiri. Dia hanya bisa merangkak menjauhi Clear, seluruh tubuhnya gemetar, "Pergi...!"

    Clear berhenti, "Ebenzer... tidak mau main sama aku yah??" Tanya Clear memelas. Raut wajahnya pun berubah, tidak segarang tadi, atau pun mengerikan. Dia terlihat seperti anak kecil yang di tinggal pergi orang tuanya.

    Sedikit kaget, namun Ebenzer tidak termakan jebakannya, "Jika maksudmu bermain dengan nyawa, kurasa aku akan melewatkannya" Ucapnya sambil menyeret tubuh sisi ruangan lain.

    Clear merengut, "Kalau begitu mati saja!"

    Melihat gelagat kurang baik, Ebenzer pun segera berjuang keras untuk berdiri dengan berpegangan pada tembok. Jarak yang memisahkannya dengan Clear semakin tipis. Jika tertangkap, maka habislah sudah.

    PRANG!!

    Ebenzer mengambil jalan nekat dengan melompat kelur dari jendela. Dua lantai dia lewati dalam dua detik. Tanah di bawahnya seperti menyongsongnya.

    BRAK!! Ebenzer dengan keras menghantam tanah, mendarat dengan kedua kakinya yang sudah tidak sehat. Bunyi tulang retak membuat Ebenzer bergidik, belum lagi rasa sakitnya yang luar biasa.

    Tak mampu mempertahankan keseimbangan tubuhnya, Ebenzer pun menjatuhkan diri ke tanah dan mengerang pelan. Kepalanya pusing, dan matanya berair. Dia memeluk kedua kakinya sambil terus mengumpat.

    Kaki-kaki itu sekarang benar-benar seperti bukan bagian dari tubuhnya lagi. Mereka berkedut dan pecah didalam.

    "Oh... god...!!" Ebenzer mengerang lagi, mencoba menggerakan kakinya. Namun sia-sia karena kesakitan langsung menyerbunya bahkan jika kakinya bergerak barang se mili meter.

    Diatas, Clear menertawakan Ebenzer dengan penuh nada pengejekan, "Bwahahaha!!! Lihat siapa yang belajar terbang!!" Dia tertawa begitu keras hingga sulit memeprtahankan kameranya agar tidak goyang.

    Gadis itu terus tertawa sementara Ebenzer masih berusaha meredakan rasa sakit yang membunuhnya. Entah kenapa, dia berpikir kalau mungkin kaki nya harus di amputasi saja agar tidak menyebabkan rasa sakit yang berkepanjangan. Tapi bagaimana pun, dia akan membutuhkan kaki itu, seburuk apa kondisinya, untuk lari dari kejaran para Pemburu.

    Bruk! Terdengar benda seberat 49 kilo gram mendarat di belakang Ebenzer. Sebenarnya Ebenzer enggan memutar tubuhnya sedikit untuk melihat apa yang jatuh barusan, karena dia tau, matanya akan mengecewakannya.

    Namun, akan mubazir rasanya jika mata miliknya itu tidak di gunakan untuk melihat, karena tidak ada jaminan dia akan menggunakannya lagi setelah menjadi mayat yang diawetkan oleh para pemburu.

    "Tidak adil... Kau bisa mendarat tanpa luka..." Gumam Ebenzer pelan.

    "Cukup adil bagi ku" Clear terkekeh, "Dengar Ebenzer, di dunia ini ada beberapa jenis unggas" Ucap benda yang barusan mendarat di belakangnya, yang ternyata seorang wanita bersenjata pemukul bola bisol, "Merak, mereka indah, tapi tidak bisa terbang. Pinguin, mereka lucu, tapi tidak bisa terbang"

    Ebenzer mengerang, dan berusaha menyeret dirinya menjauh tanpa melihat siapa yang berbicara. Merasa tidak perlu lagi, karena yang berbicara adalah kematiannya.

    "Tapi Rajawali, Elang, Alap-alap, dan sebagainya, bisa terbang. Dan mereka semua kebanyakan adalah predator!" Ucap Clear berbicara melantur, "Dan kau, Ebenzer, kau bukan pinguin yang bisa berenang untuk melarikan diri lewat air, bukan pula burung unta yang bisa berlari lewat darat. Kau itu ayam! Dan ayam adalah makanan kami. Para predator"

    Bug! Ebenzer merasa punggungnya diinjak, dia semakin gemetar, berusaha semakin keras untuk membebaskan diri. Namun kedudukannya tak berubah. Kaki yang menahannya terlalu kuat.

    "Ayam tidak bisa lari kemana-mana, Ebenzer. Menyerah kepada rantai makanan adalah hal yang terbaik" Clear berkata lagi dengan gaya seorang guru IPA yang menjelaskan tentang bagaimana seluruh ekosistem ini bekerja, "Tapi seperti yang kukatakan di awal, sebagian predator suka bermain dengan makanannya sebelum memasukan mangsanya kedalam perut mereka yang tak pernah kenyang"

    Clear berlutut di sebelah Ebenzer dan menjambak rambutnya, merekam wajah menyedihkan Ebenzer "Hehe, sekarang, karena aku sedang bermurah hati, aku akan menyuruhmu untuk memilih sendiri permainan yang akan kau mainkan. Bagaimana?"

    Ebenzer bernafas sembarangan melalui mulut, lalu menjawab, "Bagaimana dengan permainkan kau-lepaskan-aku-dan-alto-agar-kami-bisa-pulang-dengan-damai?"

    Clear terkekeh, "Ayolah, kau ini laki-laki. Jadilah sang jantan. Pilih salah satu sebelum aku berubah pikiran"

    "Suit?"

    "Nah, i don't feel like it"

    "Monopoli?"

    "Permainan anak kecil"

    "Kasti?"

    "Kita kekuranan orang"

    Ebenzer bingung. Permainan yang dimaksud disini permain yang mana?? Apakah basket? Atau petak umpet--tidak, yang ini tidak akan bekerja, terlalu banyak suspense. Bagaimana dengan...

    "Catur?"

    Senyuman kecut terkembang di wajah Clear, "Dari dulu aku lemah dalam catur" Namun dengan segera di menyambung, "Oh baiklah. Sekali-kali aku harus menantang batas diriku sendiri"

    Akhirnya Clear menyeret Ebenzer yang sudah tidak bisa berjalan ke Perpustakaan sekolah. Tanpa mempedulikan kenyamanan atau keamanan Ebenzer tentunya. Membuat Ebenzer mendapat memar-memar baru.

    Di perpustakaan tersimpan sekotak catur tua dari kayu ek, beberapa guru sering memainkannya hingga set itu aus. Clear meletakan kameranya diatas meja, memposisikannya agar bisa merekam pertandingan sport otak berlangsung.

    "Ok, putih atau hitam?" Tanya Clear, "Oh tidak, tidak, tunggu. Kau putih saja. Aku suka hitam"

    Ebenzer hanya mengangguk, lalu mengangkat jari untuk menggerakan bidak pertama.

    "Tunggu" Kata Clear tajam. Mengiris suasana sepi, cukup untuk membuat Ebenzer terpaku.

    "Siapa yang memutuskan kau jalan duluan?" Tanya Clear lagi.

    Ebenzer menjawab gelagapan, "Er... putih selalu jalan duluan... peraturan catur..."

    Clear terlihat berpikir, lalu tersenyum, "Ternyata aku memang tidak tau apa-apa tentang catur. Lanjutkan"

    Ebenzer menyeka keringat di dahinya. Ini adalah saat-saat bermain catur paling menegangkan dalam hidupnya. Dia duduk begitu dekat dengan salah satu orang paling kejam di sekolah, setara dengan Zenos dan Mycale. Kakinya tidak bekerja dengan baik, dan hanya keberuntungan atau permainan dewa kematian yang membuat Clear tidak mencongkel matanya keluar saat itu juga.

    Ebenzer berkali-kali mencuri pandang kearah Clear, memastikan gadis itu tidak sedang menatapnya dengan tatapan lapar. Namun sepertinya dia cukup tenang untuk saat ini. Namun tentu saja, kilatan di matanya menunjukan bahwa sewaktu-waktu dia dapat membalikan meja dengan marah karena Ebenzer lama dalam menentukan langkah.

    Beberapa menit berlalu, sejauh ini baik-baik saja. Ebenzer berhasil melenyapkan satu benteng, dua menteri, lima pion, dan satu satria milik Clear. Sementara Clear hanya bisa membobol setengah dari hasilnya.

    Giliran demi giliran terus bergulir, bidak catur terus berubah, Ebenzer berpikir keras, diamatinya seluruh papan, mencari celah untuk menghabisi sang raja.

    Dan Ebenzer melihatnya, sebuah celah yang tidak disadari Clear. Dengan segera, dia menggerakan menterinya untuk...

    "Checkmate" Ucap Ebenzer.

    Clear menggaruk bagian belakang kepalanya. "Ow sh1t... apa artinya aku kalah?"

    Ebenzer mengangguk takut-takut.

    Clear tertawa keras-keras, "Hahaha, sepertinya aku perlu latihan" Dia lalu bergumam pada dirinya sendiri sambil mengamati papan catur.

    Ebenzer cemas, kira-kira apa yang akan di lakukan oleh Clear? Dengan penuh kekhawatiran, Ebenzer terduduk di kursinya, bahkan saking tegangnya, dia tak mampu menyandar pada punggung kursi.

    "Baiklah," Ucap Clear, yang membuat Ebenzer kembali tegang, "Kurasa kau perlu di beri hadiah..."

    Ebenzer bersinggut dari tempat duduknya, dia ingin bertanya, tapi tidak berani. Akhirnya dia hanya melihat Clear mengeluarkan sebuah botol minuman kecil dari sakunya. Clear mengelungkan botol tersebut pada Ebenzer, "Nih"

    Ebenzer terlihat ragu, dia lalu bertanya, "Bagaimana ku tau kalau ini bukan racun?"

    Clear tertawa, lalu meminum botol tersebut, menghabiskannya sampai setengah, lalu kembali menawarkannya pada Ebenzer.

    Ebenzer menerima botol itu setengah hati. Menatapnya sebentar, lalu menatap Clear, menatap botol, lalu menatap Clear lagi.

    Clear mengisyaratkan Ebenzer dengan kedikan kepala agar segera meminumnya.

    Sang pemuda mendekatkan mulut botol tersebut ke mulutnya, berdoa sebentar, lalu menenggak isinya. Ternyata rasanya boleh juga. Meski agak keras dan pahit, tapi menyegarkan. Ebenzer menyisakan seperempat dari isi botolnya. Meski minuman enak, tapi dia tidak terbiasa minum dari botol air seorang psikopat.

    "Kau tau ini apa?" Tanya Clear mengambil botolnya kembali, menimang benda itu didepan wajahnya sambil tersenyum tipis, "Crystal Blue, benda ini hanya dapat di temukan dari orang tua dan anaknya yang cantik di black market. Untuk mendapatkannya aku sampai harus menodongkan pisau dan terlibat masalah yang cukup dalam. Tapi hasilnya setimpal. Rasanya nikmat kan?"

    "Ya... bisa di bilang begitu..." Jawab Ebenzer berbohong. Minuman itu memang menyegarkan, tapi tidak begitu enak.

    Clear melambaikan tangannya, "Ah, kau belum merasakannya. Nanti kalau sudah bekerja, baru terasa, senikmat apa benda ini..."

    Ebenzer heran, "Bekerja?"

    Clear tersenyum misterius, "...nanti kau akan tau..."

    Ebenzer dapat melihat bahwa wajah Clear terlihat menyernyit kesakitan. Keringat dingin mulai menitik di wajahnya. Nafas gadis itu mulai tak beraturan, dan wajahnya sedikit memerah.

    Namun Clear malah bangkit dari kursinya, mengambil kamera, dan berjalan menjauh...

    Bruk!! Pada langkah kedua dia jatuh pada lututnya untuk beberapa detik, bertahan untuk memeposisikan kamera didepannya, lalu terbungkuk dan batuk-batuk kasar. Sesuatu jatuh dari mulutnya ketika dia terbatuk. Dan sesuatu itu darah. Setelah batuk-batuk Clear pun jatuh ke lantai sepenuhnya. Nafasnya semakin tidak beraturan.

    Ebenzer kebingungan. Ini mungkin kesempatannya yang paling baik untuk melarikan diri. Namun, tiba-tiba kepalanya diserang pusing yang tidak biasa. Sakit kepala itu datang perlahan, namun semakin dahsyat dan berdengung di kepalanya.

    Ebenzer yang tadinya setengah berdiri kehilangan dayanya. Dia jatuh menabrak meja, membuat kakinya semakin berdenyut. Dia pun Batuk darah seperti Clear. Nafasnya juga tak terkendali, tidak ada satu pun dari oksigen itu yang masuk kedalam paru-parunya.

    Seluruh tubuhnya panas, kulitnya sakit seperti di sayat oleh pisau tipis. Organ dalamnya seperti diiris, terbakar dan nyeri. Sesuatu membusukan dirinya dari dalam. Kakinya mati rasa dan dingin. Tangannya kesemutan. Kepalanya pusing seperti ada yang memukulinya dengan godam raksasa.

    "Apa... apa yang kau lakukan...?! T-tadi itu... racun..?!" Tanya Ebenzer tersengal-sengal. Pandangannya berubah merah dan berkabut.

    Clear tergelak kasar, "...benar..."

    "T-tapi.. kau meminumnya..!! Kau..!!" Ebenzer kali ini memuntahkan darah. darah yang dia muntahkan berwarna hitam dan busuk. Di lihat sekilas olehnya, Clear sendiri sudah kejang-kejang pelan seperti sekarat. Entah berapa liter darah busuk yang sudah dia muntahkan.

    "Kau gila...!!" Umpat Ebenzer sebelum dia jatuh kelantai. Gemetar hebat.

    Clear kembali tertawa, tawa kecil yang mengerikan. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri, beserta kameranya mendekati Ebenzer, dan berbisik, "Biasanya akan tambah nikmat ketika hampir sampai puncaknya..."

    Gadis itu merekam Ebenzer yang menggelepar beberapa detik sebelum meletakan kamera diatas meja, menyangganya dengan buku, lalu berbaring. Mengerang pelan sambil mencakar tubuhnya sendiri ketika racun yang dia minum menyebar keseluruh jaringan tubuhnya.

    Ebenzer sendiri merasa tak kalah mengenaskan. Baru sekali itu dia merasakan yang kesakitan yang se dahsyat ini. Organnya serasa meledak, pembuluh darahnya seperti pecah, dan Ketika kena demam parah dulu, dia merasa dirinya akan mati.

    Tapi kali ini, dia benar-benar ingin mati saja karena tidak kuat menanggung kesakitannya. Setiap kali dia merasa batasnya sudah dekat, dia mual dan langsung muntah. Dengan begitu dia terlegakan sesaat sebelum menghadapi kesakitan yang lainnya. Dan Ebenzer membencinya sejak pertama kali merasakannya.

    Kaki Ebenzer menendang-nendang ketika dia merasa sel-sel di tubuhnya di uraikan secara paksa. Aneh, padahal kaki itu harusnya tak bekerja karena sudah patah dan retak. Namun entah apa yang menggerakannya hingga tubuhnya bisa bergerak liar seperti itu.

    ".. hehehe... kau seperti kecoa yang ku siram dengan cairan pembasmi serangga Ebenzer..." Gumam Clear terkikik. Ebenzer heran, bagaimana gadis itu bisa mengucapkan kalimat sepanjang itu tanpa terputus dalam kondisi seperti ini?

    Ebenzer merasa dirinya semakin mendidih, dia pun meraung keras-keras. "Antidote!!" Teriak Ebenzer tertekan, "Kau pasti punya antidote-nya!!"

    Tapi Clear tidak menanggapi. Sebenarnya bukan tidak menanggapi, tapi lebih ke tidak bisa mendengar. Karena Ebenzer sendiri merasa kepalanya berdenyut hebat, membuatnya tuli dan hanya bisa mendengarkan nafasnya sendiri dan detak jantungnya yang begitu cepat.

    Ebenzer pun terpaksa menggeledah Clear. berusaha mencari botol yang kemungkinan berisi penawarnya. Susah sekali melakukan itu, karena Clear yang terus bergerak dengan liar, dan Ebenzer mulai kehabisan tenaga.

    Namun tiba-tiba semua jadi hening. Ebenzer lumpuh kesamping. Dan entah dari mana, dia seluruh kesakitan yang pernah dialaminya semasa hidup di tumpahkan saat itu juga.

    "AARGH!!!" Tak ayal pemuda kecil itu berteriak sekencang-kencangnya, darah menyembur dari mulut, hidung, dan matanya. Ebenzer mulai mencakar-cakar lantai, menendangi meja dan kursi, bahkan menekan bagian belakang kepalanya ke lantai, atau menjambak rambutnya sendiri. Menggelepar karena tidak tahan menghadapi siksaan itu. Mulutnya megap-megap untuk menghirup oksigen yang sedikit.

    Dia udah tidak bisa memposisikan tubuhnya pada posisi yang benar ketika dia muntah. Darah busuk mengalir begitu saja ke kanan kiri wajahnya.

    Ditengah-tengah kesakitan itu, dia dapat melihat Clear susah payah duduk disampingnya. Samar-samar dia mendengar, gadis itu tertawa parau, lalu Clear mengenggak sebuah botol bening beberapa kali.

    Tak sampai disitu saja, gadis itu mendekatkan wajahnya pada wajah Ebenzer. Meski Ebenzer mati rasa, tapi dia bisa mengetahui bahwa ada benda bawah yang menempel di mulutnya yang setengah terbuka. Ada cairan mengalir dari bibir, ke mulut, lalu ke tenggorokan. Cairan yang cukup banyak.

    Lalu cairan itu berhenti mengalir. Benda yang tadi menempel di bibirnya terangkat kembali. Di mata Ebenzer, terlihat Clear sedang mengelap mulutnya sebelum semua mengabur...
    [GM] Ebenzer[B]
    [GM] Ebenzer[B]
    GM[Game Master]
    GM[Game Master]


    Posts : 32
    Join date : 30.03.10
    Age : 29

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by [GM] Ebenzer[B] Wed Mar 31, 2010 10:17 am

    ----

    Ebenzer terbatuk. Lalu perlahan kesadaran menghampirinya. Kepalanya terasa pening dan ringan. Tubuhnya sakit semua. Namun entah kenapa, dia merasa lebih baik. Dia lalu menyandarkan punggungnya pada kaki meja terdekat. Merasa begitu lelah.

    Ebenzer kembali teringat apa yang terjadi, "F*ckin' whor*..." Umpatnya sambil mengusap wajahnya yang lengket, belepotan darah dengan baju seragamnya. Membuat seragam itu jadi berlumuran darah. Entah kapan noda darh itu bisa hilang di cuci.

    Ternyata Ebenzer telah salah menilai mereka bertiga. Mereka bukan orang gila, tapi benar-benar gila! Ebenzer jadi tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Alto yang di tawan oleh mereka--

    "Oh sh1t..!! Alto!!"

    Ebenzer langsung berdiri dan bersiap untuk melesat, namun kakinya langsung lumpuh. Nampaknya berbagai luka serius yang di sematkan pada kakinya membuat anggota tubuhnya itu merengek manja.

    "Tidak sekarang, kaki bodoh!! Aku harus menemukan Alto!!"

    Namun tetap saja, kaki itu tidak mau bergerak. Terpaksa, Ebenzer menyeret tubuhnya untuk bergerak. Sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Belum-belum tangannya sudah serasa terbakar karena lelah.

    Tapi Ebenzer tetap memaksakan tubuhnya. Dia tidak mau Alto menemui nasib yang sama dengannya. Paling tidak, Alto harus selamat! Dia juga tidak peduli kalau pemburu menangkapnya, dia toh sudah tidak bisa lari lagi.

    Ebenzer sudah berada di lorong ketika speaker sekolah tiba-tiba berkemeresek. Sedikit terkejut dan takut, Ebenzer terdiam. Suara kemeresek terus berlanjut dan semakin keras. Siapa yang menyiarkan radio sekolah malam-malam begini? Pasti para pemburu itu...

    "Tes... tes... satu dua tiga..."

    Terdengar suara seorang laki-laki yang sangat di kenal Ebenzer. Suara itu milik Mycale!

    "Halo? Halo? Sudah ok? Ehem, baiklah, Ebenzer, diaman pun kau berada, kami harap kau bisa mendengar kami" Kata Mycale.

    Edelmeier High memang mempunyai studio siaran sendiri. Studio ini hanya melingkupi lingkungan sekolah, dan biasanya saat istirahat siang, radio disiarkan melalui speaker yang terpasang di setiap sudut sekolah.

    "Hi Ebenzer! Ada yang titip salam nih buat kamu" Ucap Mycale seperti penyiar radio betulan.

    Ebenzer memperhatikan dengan seksama. Saat ini tidak bergerak sedikitpun.

    "Yang pertama dari... Zenos! Dia titip salam, katanya 'Kapan-kapan masak lagi yuk! Aku punya resep baru yang mau di coba' Wah, ternyata kalian suka masak ya? Boleh donk di kirimin satu masakannya ke studio? Hehe"

    Ebenzer bergidik mual ketika mendengar kata 'masak'.

    "Yang kedua... dari Clear! Dia bilang, 'Ebenzer, ayo kita minum-minum lagi!' Waduh! Kalian masih di bawah umur, jangan 'minum-minum' deh!"

    Ebenzer menelan ludah. Tidak akan pernah terulang untuk kedua kalinya.

    "Yang ketiga... ow! Dari someone special! Bahkan orangnya sudah datang langsung ke studio untuk menyampaikan pesan! Silahkan, ini mic-nya"

    Seseorang? Siapa--

    "...Ebenzer...?"

    "Alto!!" Ebenzer refleks menjerit pada speaker, berharap suaranya bisa sampai pada sahabatnya itu.

    Suara Alto terdengar sedikit lemah dan depresi. Ebenzer jadi takut kalau Alto kenapa-napa. Dia hanya bisa meremas tangan dan berdoa agar Alto selamat...

    "Ebenzer... dimana pun kau berada sekarang, JANGAN cari aku!! Larilah!! Pergi!! Aku--- GUARGH!!"

    "Alto!!!" Ebenzer kembali berteriak, dia sangat frustasi, begitu cemas apa yang terjadi disana. Kenapa kata-kata Alto terpotong oleh teriakan??

    "Tenang bocah, teman mu masih hidup" Ucap Mycale lagi, "Begini, kami memutuskan agar kau datang menemui kami. Sementara menunggumu, kami akan sedikit bersenang-senang dengan sahabatmu ini"

    Sementara Mycale berkata begitu, Ebenzer dapat mendengarkan dengan samar suara benda di hantamkan dan suara orang mengerang pelan.

    Ebenzer mengepalkan tnagan begitu keras hingga melukai dirinya sendiri.

    Mycale melanjutkan, "Kau sudah tau temanmu ini berada disana. Maka cepatlah kemari agar kau tidak ketinggalan pesta! Oh satu lagi," Mycale tidak langsung menyambung, dia sengaja terdiam agar suara Alto terekam mic.

    "Aku akan menyiarkan secara langsung pesta kami, jadi, tenang saja, kau tidak akan tertinggal banyak!"

    Selanjutnya Mycale meninggalkan mic. Kekosongan Mycale di gantikan teriakan kesakitan Alto. Mata Ebenzer melebar mendengar semua itu, setan macam apa yang berbuat begitu pada Alto sampai membuatnya berteriak seperti itu??

    Ebenzer berusaha berdiri, kali ini benar-benar memaksakan batas tubuhnya. Akhirnya dia berhasil berdiri, meski tidak sempurna. Dan Ebenzer mulai berjalan menuju ruang Siaran, sementara teriakan Alto masih terdengar dari speaker seluruh sekolah.

    ----

    "AAAARGH!!" Alto berteriak ketika Mycale menendang luka yang menganga di betis Alto. Luka akibat di tusuk berkali-kali dengan garpu. Sebenarnya, karena di pukuli Zenos waktu siaran tadi, Alto sudah menderita lebam yang cukup serius.

    "Hey Zenos, kenapa kau tidak jemput Clear? Dia mungkin pingsan di lorong?" Pinta Mycale sambil terus menekan luka Alto.

    "Cih, pecandu racun itu merusak acara saja..." Gumam Zenos meski tak sepenuhnya bermaksud menggerutu pada Clear, "Setidaknya bagi-bagi donk kalau punya racun. Memangnya tidak boleh aku coba sedikit? Dasar wanita racun dunia... hahaha"

    "Hehehe, kalau kau jemput dia, mungkin dia bersedia berbagi denganmu" Kata Mycale.

    "Baiklah, aku akan jemput dia. Hanya agar dia mau meminjamkan handy camnya untuk merekam pesat ini"

    Dan Zenos pun pergi, meninggalkan Mycale dan Alto berdua di ruang siaran.

    Mycale menatap Alto dengan sejuta arti. Seperti seniman yang mengagumi sebuah lukisan mahakarya pelukis terdahulu.

    "Nama panjangmu Alto Angelo ya?" Tanya Mycale.

    Alto tersenyum mengejek. Dia sudah bertekad agar tidak buka suara pada para penghujat ini.

    "Angelo... Suits you well"

    JELB!!

    "AAAARH!! Sh1t!!"

    Sebuah pisau kue menancap di tempat luka yang sama. Namun Mycale tidak berhenti sampai situ, dia malah memainkan pisau yang setengah tenggelam didalam daging tersebut dengan memutarnya perlahan.

    "Kau tau, setiap kau berteriak seperti itu membuatku mendengar malaikat..." Ucap Mycale pelan sambil terus menggerakan pisau. Membuat darah yang mengalir semakin banyak. Mycale tersenyum sendiri, "Heheh, coba kau mau bernyanyi untuku tiap hari... aku pasti akan sangat senang..."

    Jleb! Jleb! Jleb! Mycale sekarang menusuk-nusukan pisau tersebut, masih pada luka yang sama. Menusuk, mencabut, menusuk, mencabut, begitu seterusnya. Si pemilik tubuh yang terluka hanya bisa menjerit tertahan dan meronta. Tapi ikatannya terlalu kencang, jika dia salah bergerak malah akan melukai dirinya sendiri.

    Mycale mencabut pisaunya, lalu melemparkan benda itu kesudut ruangan. Dia lantas berdiri, memandang Alto tepat di mata.

    Bruk!

    Mycale memeluk Alto. Membuat Alto terkejut setengah mati. Namun sebelum Alto sempat ber-reaksi, Mycale sudah berseru, "Aku selalu ingin punya saudara seperti-mu!"

    Mycale melepaskan pelukannya, "Saudara yang bisa kusiksa setiap hari. Pasti akan sangat menyenangkan mendengar dia berteriak... Apa lagi yang memiliki suara sebagus kau! Dan ketahanan tubuh yang tinggi! Oh... kita akan menghabiskan banyak waktu bermain bersama!"

    Alto memandang jijik pada Mycale, lalu berkata, "Kau sakit!"

    Yang dihina hanya tersenyum, "Oh tidak Alto... percayalah, jika menjadi saudaraku kau akan merasakan kesakitan yang indah..."

    Mycale kemudian meletakan kedua tangannya pada telapak tangan kanan Alto. Dia membelai jemarinya, membuat Alto bergidik ngeri dalam konstek lain. Lalu...

    KREK!!

    "Guh!!" Alto menjerit tertahan. Tulang jari telunjuknya baru saja di patahkan oleh Mycale. Si pelaku meraba jari yang lain... lalu... KREK!!

    "Ugh...!!"

    Krrretek...krektk...

    "Gaaaah!!!"

    Kali ini dua jari langsung di patahkan oleh Mycale.

    "Hehe, kau lihat? Aku selalu bertindak lembut dan pelan-pelan... Aku bukan tipe penyuka hard core seperti Zenos. Aku juga tidak akan menggunakan racun seperti Clear. Hey, mau kutunjukan yang lain?"

    Mycale mengeluarkan pisau kecil dari sakunya. Lalu memegang jari telunjuk Alto yang sudah patah.

    "Ok... aku akan mulai"

    Dengan perlahan, Mycale mulai memisahkan bagian antara daging dan tulang jari Alto. Tak ayal Alto menjerit sejadi-jadinya. Mycale bahkan tidak berhenti sampai mengelupas jari telunjuk, dia beralih keseluruh telapak tangan Alto.

    Alto hanya bisa memandang sedih pada tangannya yang cacat, tulang putih yang ternoda merah darah. Mycale memandang puas pada hasil kerjanya, lalu sambil setengah bersiul-siul, dia mengeluarkan catut dari laci meja, dan memegangnya di samping tangan kiri Alto.

    "A-apa yang akan kau lakukan?!" TAnya Alto sedikit panik,

    "Perawatan kuku" Ujar Mycale santai, bersiul-siul lagi sambil mencatut semua kuku Alto. Menghiraukan jerit protes dari korban. Berusaha menaha tangan Alto agar tidak bergerak-gerak hingga menyulitkan pekerjaannya.

    Kriet... Pintu siaran di buka. Zenos masuk sambil memapah Clear di bahunya. Clear terlihat seperti orang mabuk yang sakit. Tanpa dosa, Clear menyapa, "Hai semua...hik... hehehe..." Lalu melorot ke lantai ketika Zenos melepaskannya.

    Clear melempar pandang pada Alto, "Si4lan kau Mycale... hik... Kau merusak hadiahnya sebelum aku sempat merekam!!"

    Namun Mycale mengabaikan protes Clear.

    Zenos memandang girang pada Alto, seakan Alto ini mainan, lalu berseru, "Gantian!! Aku juga mau!!"

    Tanpa ba bi bu, Zenos merebut pisau Mycale dan mulai menusuki Alto secara sembarangan. Tusukan yang tidak dalam tapi cepat. Darah mengucur dari bekas tusukan Zenos. Zenos sendiri terlihat senang sekali melakukan itu.

    "Tidak! Jangan begitu Zenos! Dia bisa mati cepat!!" Seru Mycale memelas sambil menghalangi Zenos menusuk lebih banyak.

    "Ha? Be-benar juga yah? Baiklah, aku akan menahan diri..." Zenos mengalah dan mengembalika pisau tersebut pada Mycale.

    Tiba-tiba Clear berseru tidak jelas, "Beri saja dia racun... hehehe... hik.."

    "Kita tidak mengambil pendapat dari orang mabuk" Ucap Zenos sambil mengacungkan jari telunjuknya pada Clear. Clear sendiri hanya terkikik di lantai, berusaha memanjat ke sofa dengan wajah orang lagi fly.

    "Mari kita mulai dengan yang ringan dulu?" Usul Mycale.

    "Benar... Hehehe... aku ada ide..."

    Mereka berdua memandang Alto dengan tatapan beringas. Namun Alto berusaha tetap tegar, jika tidak, semua pertahanannya akan hancur berantakan.

    Lalu di mulailah, tindakan biadab tersebut.

    Mula-mula sebuah styrofoam di ikatkan pada bagian badan Alto. Lalu secara bergantian, Zenos dan Mycale memukul Alto dengan palu pada lapisan Styrofoam sampai mereka bosan.

    Kemudian semua tulang di lengan dan tubuh Alto di patahkan, dengan berbagai cara. Zenos menggunakan beda tumpul, sementara Mycale mematahkan dari yang terkecil dulu.

    Zenos sempat iseng menendang selangkangan Alto begitu keras beberapa kali atas permintaan Clear yang mabuk. Betapa senangnya gadis itu melihat Alto mengerang pelan. Dia bahkan tidak berhenti tertawa.

    Karena Alto meronta terlalu keras, kakinya yang di ikat oleh tali terluka karena gesekan, membuat tulangnya nyaris terlihat. Zenos, dengan sengaja, menyiramkan minuman keras--bukan racun-- kearah kepala Alto, membasahi luka-luka yang terbuka. Dimandikan, kata Mycale. Tapi toh botol minuman keras itu di pukulkan kekepala yang disiram ketika cairannya habis.

    Seakan tidak cukup, Zenos dan Mycale memakukan pasak pada setiap persendian di tubuh Alto, kecuali leher. Alto berteriak paling keras di bagian ini. Membuat ketiga orang itu tertawa puas.

    Disabet, di cambuk, atau bahkan di bakar hanya selingan. Clear bahkan meminjamkan Taser-nya, dan cukup puas melihat Alto menggeliat ketika di sengat. Mereka bahkan membuat kompetisi aneh, siapa yang paling kuat mencekik Alto tanpa membunuhnya, dia yang menang. Yang kalah harus merelakan gilirannya untuk 'bersenang-senang'.

    Clear tidak ikut, karena orang mabuk di larang ikut oleh Zenos. Jadi dia hanya duduk di sofa, menonton, dan meminum racun ringan sambil sesekali tertawa dan terkikik. Handy cam di tangannya terus mereka pesta yang mereka buat.

    ----

    Ebenzer menitikan air mata, kakinya kembali tidak mau berdiri. sekeras dan secepat mungkin dia berusaha menyeret tubuhnya agar sampai ke ruang siaran lebih cepat. Setiap apa yang di siarkan melalui speaker membuat hatinya hancur.

    Suara-suara itu membuatnya luar biasa khawatir dan takut. Bayangan-bayangan berkelebat di benaknya. Dan dia paling tidak bia terima bahwa yang menanggung sema itu adalah Alto, satu-satunya sabahatnya.

    Setiap kali Alto berteriak di siaran, Ebenzer merasakan kepedihan yang sama, bahkan dia ikut berteriak. sampai dia nyaris tidak bisa bergerak lagi. Tapi jika dia tidak bergerak, berarti dia semakin menyusahkan Alto. Dia tidak mau itu terjadi.

    Alto orang yang kuat, batin Ebenzer berusaha meyakinkan diri sendiri, Dia tidak akan kalah dengan para orang gila itu...

    Namun entah kenapa, air matanya semakin deras mengalir.

    Pintu ruang siaran berada di belokan lorong didepan Ebenzer. Suara teriakan terdengar makin keras. Ebenzer segera saja menyeret dirinya lebih cepat dari sebelumnya. Tidak memperdulikan bahwa kedua telapak tangannya sekarang berdarah atau apa.

    Ebenzer berusaha meraih gerendel pintu. Dari posisinya yang nyaris menyatu dengan lantai, sangat sulit baginya untuk melakukan hal yang sepele.

    Grep!! Akhirnya Ebenzer berhasil meraih gerendel. Namun butuh usaha lebih banyak untuk menariknya.

    Dengan frustasi, Ebenzer berusaha menarik memutar gerendelnya. Si4lnya, tangannya terpeleset, dan dia harus berusaha meraihnya lagi. Teriakan Alto terdengar keras dan cepat, bahkan terdengar seperti rengekan.

    Ebenzer semakin desprate. Kembali dia raih gerendel itu, dan dengan satu gerakan yang di paksakan, pintu siaran akhirnya terbuka...

    Namun teriakan Alto sudah tidak terdengar. Jantung Ebenzer berdetak kencang. Takut jika mimpi buruknya terjadi...

    Kriet...

    Pintu terbuka lebih lebar...

    Didalamnya, Ebenzer bisa melihat Alto di salib pada sebuah kayu. Tangan kanan dan kirinya tidak ada, darah mengalir dari kedua pangkal tangan tersebut. Setiap persendian di tubuhnya di paku oleh pasak sepanjang 20 cm.

    Luka memar dan sayatan berserakan di tubuhnya. Dia seperti bermandikan darah yang menggenangi ruangan tersebut. Sebuah pisau dapur menancap di perutnya.

    Kepalanya tertunduk, rambut hitam menutupi wajahnya yang coreng moreng merah. Ebenzer terpaku. Alto sama sekali tidak bergerak. Otaknya seperti beku melihat keadaan sahabatnya itu...

    "..Al...to...?"

    Perlahan, kepala Alto terangkat. Mata biru lautnya yang selalu memancarkan optimisme berubah menjadi kusam, tak bernyawa, dan putus asa. Mulutnya yang sobek-sobek bergerak pelan.

    "...ben..."

    Ebenzer tertegun, Alto berbicara begitu pelan hingga dia tidak dapat mendengarnya.

    "...e..benz..er... ebenzer..."

    Alto berucap lagi, kali ini senyum terkembang di wajahnya.

    Air mata Ebenzer tidak dapat di tahan lagi. Dia kemudian menyeret tubuhya mendekati Alto. Perlahan....

    "Alto...!"

    ZAT!!

    Seutas tali yang tadi melingkari leher Alto ditarik keras-keras ke kanan ke kiri oleh Zenos dan Mycale.

    "Kh..! ehk...! hkh...!" Alto yang hanya bisa *sensor*ik ketika tali itu mencekiknya. Tubuhnya bergerak pelan, tak membantu sama sekali dalam usaha meloloskan dirinya.Ebenzer berteriak, lalu berusaha merangkak, mencoba menjatuhkan Mycale dan Zenos yang menarik tali seperti orang bermain tarik tambang dengan wajah beringas.

    Tap!

    Clear menurunkan kakinya yang mendarat tepat diatas punggung Ebenzer. Lalu menginjak laki-laki itu begitu kuat hingga dia tidak bisa bergerak. Clear berkata sambil menyorot wajah Ebenzer dengan kamera, "Tidak, Ebenzer... Kau jangan menganggu pertunjukan akhirnya"

    Ebenzer memohon pada Clear, "Kumohon!! Tolong jangan lakukan ini pada Alto!! Kumohon!!"

    Clear menyeringai lebar dari balik layar handycam, "Hihihi, buka bajumu dan memohonlah seperti anjing. Mungkin akan kulepaskan Alto-mu"

    Ebenzer cepat-cepat melepas seragamnya sambil terus memohon pada Clear, Mycale, dan Zenos. Tapi tidak ada dari mereka yang mendengarkan.

    Nafas Alto tinggal sejengkal lagi, pemuda itu terlihat kejang-kejang, dan Ebenzer semakin panik. Terpaksa, dia melakukan hal yang paling rendah, yaitu menciumi kaki mereka.

    "..Kumohon!! Jangan lakukan ini..!! Ku mohon padamu!!!" Isak Ebenzer di kaki Zenos.

    Zenos memberikan seringai buas, "Hehe... baiklah..."

    Mycale dan Zenos akhirnya melepaskan jerat tali mereka, membuat Alto terbatuk. Ebenzer membuka mulutnya yang gemetar untuk mengucapkan rasa syukurnya, "Terima ka--"

    JLEB!! JLEB!!

    Zenos menusuk jantung Alto dengan pisau, sementara Mycale menggorok leher Alto. Pemuda itu mengejang, matanya melebar keatas, lalu wajahnya jatuh tertunduk.

    Ebenzer yang berada di bawah dapat melihat wajah Alto.

    Meski berlumuran darah, Alto terlihat damai. Dia menyunggingkan senyum pada Ebenzer, dan berkata pelan, "...E..ben..zer..." Lalu senyuman itu menjadi sekosong matanya ketika nafas terakhir Alto hilang.

    Ebenzer shock berat. Dia merasa bagian dari dirinya ikut mati. Ebenzer bahkan tak beranjak dari tempatnya. Dia terus menatap mata kosong sahabatnya yang telah mati dengan cara mengenaskan. Air matanya mengalir deras tanpa isakan.

    Srak...

    Tubuh Ebenzer di tarik, lalu di baringkan di lantai. Ebenzer tak ber-reaksi, matanya tetap membelak seperti itu.

    "Wah wah... ternyata.. hik.. sampai segitunya yah? hik..." Kata Clear sambil menunduk kebawah melihat Ebenzer. Tetap melanjutkan kegiatan rekamannya.

    "Alto sahabatnya sih... apa boleh buat" Timpal Zenos.

    "Aku juga akan kehilangan" sambung Mycale.

    "Aw.. menyebalkan kita harus mengakhiri pertunjukan!" Gerutu Clear.

    "There there... kita bisa membuat pesta lagi tahun depan" Ucap Mycale menenangkan.

    "Well, ayo kita akhiri sekarang!"

    Setelah Zenos berkata begitu, mereka bertiga mengangkat pasak dan palu. Lalu berbarengan, mereka berlutut di samping kanan kiri Ebenzer. Dan meletakan pasak tersebut di dahi, leher, dan dada.

    "Selamat tinggal Ebenzer! kalau kita bertemu dineraka, mendekati kami adalah hal terakhir yang kau lakukan" Kata Mycale.

    "Good bye~ Lain kali kita akan mencoba racun yang lebih enak lagi!" Kata Clear.

    "We'll dine in hell next time" Kata Zenos.

    Palu diangkat tinggi hingga menghalangi cahaya. Ketiga orang itu menyeringai pada Ebenzer.



    Sayonara!!





    BRAK!!

    Ebenzer terbangun ketika bel panjang berdering di telinganya. Mrs Heyden baru saja meninggalkan ruangan, namun semua murid belum bersiap-siap untuk pulang karena hujan deras.

    Suasana terlihat normal, Ebenzer menoleh kesana-kemari. Bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

    "Hoy tukang molor!! Apa kau sudah tau siapa kelompokmu??"

    Suara barusan mengagetkan Ebenzer. Jantungnya serasa berhenti berdetak...

    "Hey, diam saja... apa nyawamu belum terkumpul yah??"

    Orang yang barusan berbicara dengannya segera berjalan kedepan Ebenzer agar temannya yang di teriaki menyahut.

    "Hm? Kau sakit?"

    Ebenzer menatap Alto yang sedang mengukur suhu tubuhnya dengan suhu tubuh Ebenzer. "Heh, normal kok..."

    Air mata Ebenzer tiba-tiba berjatuhan begitu saja. Dia sampai bingung harus bagaimana, "Huaa..! Hiks.. hiks.. Alto...!!" Dan tanpa di duga, Ebenzer langsung memeluk Alto. Membuat Alto berteriak-teriak seperti orang kesetanan,

    "Waaaaa!! Lepaskan aku dasar hay!!!" Serunya ketika siswi perempuan berbisik-bisik sambil tersenyum pada kelakuan Ebenzer.

    "Cukup!! Kau membuatku takut Eben!! Lain kali kau begitu lagi, akan ku lempar kau dari lantai sepuluh!!" Ancam Alto.

    Ebenzer yang masih sesenggukan mengangguk sambil berusaha tersenyum, "i-iya"

    Tapi Alto tersenyum, "Bwahaha! Itu tidak seperti kau yang dapat mimpi buruk di siang bolong!"

    Ebenzer tertegun, Mimpi? Ah iya... pasti semua itu adalah mimpi....

    "Oh ya, untuk kelompok drama nanti, kita sekelompok dengan Clear, Mycale, dan Zenos loh!" Lanjut Alto.

    DEG!

    "Clear... Mycale... Zenos....???" Ulang Ebenzer tak percaya.

    Alto mengangguk, "Yep!... ada apa??"

    Ebenzer menggeleng cepat-cepat, "Ti-tidak ada apa-apa..."

    Benar... semua hanya mimpi kan...? Tidak perlu di pikirkan...

    "Hai semua~!" Seorang gadis tiba-tiba datang dan mengagetkan semua orang. Dialah Clear, "Maaf, tadi aku di panggil Mrs Heyden. Jadi, kita sekelompok??"

    Ebenzer bersinggut menjauh, begitu ketakutan melihat Clear. Alto dan Clear yang menyadari hal itu terlihat begitu heran.

    "Ah, kalian sudah berkumpul"

    "Hm..."

    Suara yang halus tersebut membuat bulu kuduk Ebenzer berdiri. Dengan cepat dia menjauhi sumber suara.

    Mycale dan Zenos terlihat heran, "Ada apa Eben?" Tanya Alto mewakili mereka semua.

    Mata Ebenzer membelak ketakutan, dia mulai gemetar hebat sambil meracau, "Tidak...tidak...!! Kalian...!! pembunuh...!! TIDAK!!!" Ebenzer terjatuh dari kursinya, dia lalu berusaha merangkak menjauh dari tiga mimpi buruk didepannya.

    "Ada apa dengannya??" Tanya Mycale pada Clear, yang di balas kedikan bahu.

    Ebenzer terus saja bertingkah seperti melihat setan. Bahkan sebagian besar penghuni kelas sudah berkerumun, heran dan bingun melihat kelakuan Ebenzer--sedikit terhibur juga karena mendapat pertunjukan gratis.

    "Akan kubawa dia ke UKS" Kata Alto singkat sambil memapah Ebenzer yang tak berhenti bergerak.

    Di kelas, Clear, Mycale dan Zenos saling bertukar pandang bingung.

    "For god sake, Ebenzer, ada apa denganmu??" Tanya Alto di perjalanan menuju UKS. Ebenzer sudah lebih tenang sekarang, malahan dia kehilangan tenaga untuk berdiri sendiri.

    Cklek.

    Pintu UKS Di buka, kekosongan menyambut mereka.

    "Hey, sepertinya penjaga UKS sudah pulang semua" Komentar Alto, "Well, sepertinya kau harus menolong dirimu sendiri, Eben" Alto meletakan Ebenzer diatas salah satu ranjang. Mencari minyak kayu putih di rak obat dan memberikannya pada Ebenzer.

    Ebenzer menggeleng pelan, "Tidak. Teima kasih, tapi aku sudah tidak apa-apa sekarang"

    Alto meletakan minyak itu diatas meja erdekat kemudian duduk di samping ranjang Ebenzer, "Apa-apaan barusan tadi??" Tanya Alto bingung, "Apa kau masih terbawa mimpi dan meracau seperti tadi?? It's not like you"

    Ebenzer bergidik ketika kembali teringat kejadian yang dialaminya saat bermimpi tadi, atau itu yang di pikirkannya bermimpi. Seluruh kejadian dan kesakitan yang dia rasakan begitu nyata! Bahkan Ebenzer masih bisa merasakan tiga titik di tubuhnya yang di paku oleh tiga psycho itu berkedut. Namun Ebenzer tak yakin Alto akan percaya pada apa yang akan di ucapkannya jika dia bercerita.

    Ebenzer kembali menatap Alto. Bayangan ketika Alto di salib berkelebatan di benaknya, membuatnya bergidik dan nyaris menerjang Alto. Tapi semakin dia mencoba mengusir bayangan itu, semakin jelas dia muncul. Ebenzer ingat bagaimana bau darah dan penderitaan memenuhi ruangan. Pandangan kososng mata Alto ketika dia mati. Itu membuatnya gila.

    "Argh!!" teriak Ebenzer sambil membenamkan wajahnya dengan ketangan. Berharap dengan berteriak seperti itu dapat mengusir bayangan kematian yang terus mengganggunya.

    "Ebenzer!! Tenanglah!!" Kata Alto menenangkan. Selama beberapa menit, Alto terus berusaha menenangkan Ebenzer yang terus meraung. Sampai akhirnya suara Ebenzer habis dan dia terkulai lemas si ranjang.

    "Kau baik-baik saja?" Tanya Alto cemas sambil mengelungkan sebotol air mineral.

    Ebenzer menoleh, tidak menatap botol yang di pegang Alto, melainkan Alto sendiri, dengan tatapan sedih. Lalu setetes air mata tergelincir dari matanya. Membuat Alto kaget.

    "Please don't leave Alto..." Isak Ebenzer sambil menutupi wajah dengan tangan.

    Alto menggaruk bagian belakang kepalanya, bingung harus berkata apa. "Er... oke?"

    pip pip, hand phone Alto berbunyi, "Tunggu, ada yang mengirimi ku sms..."

    Ebenzer memperhatikan Alto membaca sms. Lalu Alto mengumumkan isi sms-nya, "Clear dan yang lain sudah menunggu kita di perpustakaan"

    Ebenzer kembali mengejang ketika mendengar nama Clera di sebut. Dalam hati dia berpikir bahwa tiga orang itu mungkin sudah mempersiapkan kejutan kematian bagi Ebenzer dan Alto di perpustakaan.

    Alto yang sadar bahwa Ebenzer menjadi sensitif jika mendengar kata 'Clear', 'Mycale', atau 'Zenos', segera menambahkan, "Kau tidak perlu beremu dengan mereka. Aku bisa kesana sendiri, mengambil apa yang di perlukan dan kembali kemari"

    Ebenzer memprotes pelan, namun Alto sudah memotong, "Cuma sebentar ok? Sebentar saja!"

    "Tapi--"

    "Ebenzer, berhentilah bersikap seperti anak kecil," Ucap Alto dengan nada membujuk, "Aku harus pergi. Sepuluh menit, ah tidak, lima menit saja"

    Ebenzer mulai menangis lagi, Alto merasa ada yang salah, tapi dia tidak yakin. Dia hanya bisa menggaruki kepalanya, "Ebenzer, sebenarnya ada apa? Aku sedikit bingung..."

    Ebenzer terdiam. Lalu, setelah kekosongan beberapa setengah menit, dia berkata, "Kau tau Al? Mungkin lebih baik aku yang ke sana..."

    "Kau yakin? Maksudku--"

    "Aku yakin. Yah, memang tadi aku agak berlebihan. Terbawa mimpi sampai seperti itu..."

    Alto menyambar jaketnya, "Kalau begitu aku sebaiknya ikut denganmu--"

    "Tidak!" Ucap Ebenzer keras, membuat Alto terhenti dan melemparkan tatapan heran.

    "Tidak. Tidak perlu" Ulang Ebenzer lebih pelan, "Kau disini saja. Aku tidak akan lama. Atau kau mau menunggu di gerbang? Nanti aku langsung pulang setelah dapat materinya"

    Alto berpikir sebentar, "Mungkin lebih baik aku menunggu di tempat parkir. Akan kuantar kau pulang nanti"

    Setelah bercakap-cakap, Alto keluar UKS terlebih dahulu lalu berpisah. Sementara Ebenzer bergerak kearah Perpustakaan.

    Diperjalanannya, Ebenzer tak langsung berjalan menuju perpustakaaan, namun memutar ke dapur sekolah. Dan kembali bergerak ke perpustakaan.

    Di luar perpustakaan, suara Clear terdengar paling keras, lalu suara Mycale sesekali tertawa renyah dan beberapa gumaman dari Zenos.

    Klek... pintu perpustakaan terbuka. Ternyata di dalam perpustakaan hanya ada mereka bertiga. Tak heran mereka adalah satu-satunya suara di seksi ini.

    Clear sadar bahwa Ebenzer memasuki ruangan langsung memanggilnya, "Oh, hi Ebenzer! Sini sini!" Terlihat sebuah handycam tergenggam di tangannya dalam keadaan merekam.

    Mycale ikut menyapa, "Yo Ebenzer. Sudah baikan?"

    Sementara Ebenzer berjalan mendekati mereka, Clear langsung menjelaskan apa yang sedang mereka bahas tadi,

    "Tadi kita sudah membahas apa yang akan kita tampilkan untuk drama. Dan kita bertiga setuju bahwa drama tersebut adalah thriller!" Kata Clear tersenyum dan berkata seperti tim kreatif dengan terus merekam, mengarahkan kamerannya pada Ebenzer.

    Mycale menambahkan dengan tawa, "Kita akan membuat thriller, sesuatu yang belum pernah di dramakan di sekolah ini selama satu dekade"

    Zenos hanya mengangguk.

    "Zenos, bicaralah! Tunjukan keberadaanmu!" Ucap Clear pada Zenos, dan mengambil gambarnya, "Ayolah, aku mau lihat jenius berbicara lebih dari gumaman"

    Zenos malah menutupi dirinya yang menahan senyum dengan buku, tidak mau terekam kamera. Semua tertawa melihat kelakuan Zenos. Semua kecuali Ebenzer.

    Pemuda itu berdiri di samping Zenos. Melihat Ebenzer yang hanya berdiri si sampingnya, Zenos menyingkirkan bukunya dan menawari pada Ebenzer, "...kau tidak duduk?"

    JLEB!!

    Sebuah pisau dapur di tusukan ke dada Zenos. Pemuda pendiam itu hanya terkejut, namun dia tidak dapat berbuat lebih lanjut karena pisau itu menusuk tepat di jantungnya. Buku yang ia pegang jatuh. Erangan pelan lolos dari mulut Zenos sebelum dia roboh ke lantai ketika Ebenzer manarik lagi pisaunya.

    Darah keluar dari lubang di dada dan mulut Zenos. Pemuda itu mengejang di lantai beberapa kali dan matanya bergerak pelan. Bahkan dengan luka separah itu, Zenos tidak langsung mati.

    Mycale mematung matanya membelak tak percaya, sementara Clear seperti patung betulan, entah bagaimana, tangannya masih saja memegang handycam dalam posisi rekam.

    "Zenos!!!" Jerit histeris Clear akhirnya.

    "Ebenzer apa yang kau--" Kata-kata Mycale terpotong oleh gerakan Ebenzer yang mengacungkan pisau.

    "Sebelum kalian membunuh yang lain..." Ucap Ebenzer perlahan, "Sebelum kalian membunuh Alto dan menyebabkan penderitaan pada kami... Aku akan membunuh kalian..."

    "Apa yang kau bicarakan?? Kau mengoceh tidak jelas!" Protes Clear takut-takut.

    Mycale bergerak menutupi Clear dari Ebenzer dengan badannya, ketika Ebenzer berjalan mendekati mereka, "Jangan bercanda..."

    Ebenzer berjalan semakin dekat. Clear hanya bisa mencengkram tangan Mycale karena takut, matanya bahas oleh air mata, "Ebenzer... jangan lakukan ini..!!"

    Ebenzer dengan seringai buas bergerak menerjang dengan pisau teracung,

    "What did we do?!"

    ----

    Alto memandangi jam di tangannya dengan sedikit kesal. Rantai gelang yang meliliti pergelangan tangannya bergemerincing ketika dia menggerakan tangannya. Dia duduk diatas motornya, satu-satunya motor yang masih tersisa di tempat parkir.

    "Ebenzer lama sekali..."

    Terdengar langkah sepatu kets bergema di ruangan parkir, "Maaf aku lama!" Seru orang itu sambil bergegas mendekat.

    "Dasar kau. Sadar tidak kalau kau sudah membuatku menunggu selama satu setengah jam!!" Dengus Alto sambil menstarter motornya.

    "Aku kan sudah minta maaf!" Jawab Ebenzer membela diri sambil menaiki motor Alto.

    "Lama sekali sih, memangnya apa saja yang kau lakukan disana??" Tanya Alto gusar sambil memakai helm-nya.

    Ebenzer tersenyum, senyum yang tidak di sadari Alto, "Aku harus memastikan tidak ada yang mengancam hidup kita..."

    "Hah?"

    "Nothing. Bisa kita pergi sekarang? Aku lapar dan kedinginan..."

    Ebenzer menaiki jok, dan bertengger di belakang Alto. Merke amelaju melewati gerbang sekolah. Menembus hujan yang mulai rintik-rintik dan udara dingin.

    Yang tidak disadari Alto, di balik punggungnya, Ebenzer sedang menyaksikan video dari sebuah Handycam dengan seringai kejam diwajahnya.



    After School End--
    by clearite form egb
    link asli: [You must be registered and logged in to see this link.]
    Admin[MaXiMiLiaN]
    Admin[MaXiMiLiaN]
    Admin
    Admin


    Posts : 52
    Join date : 29.03.10
    Age : 31
    Location : CityOFArema

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by Admin[MaXiMiLiaN] Wed Mar 31, 2010 10:25 am

    SOOO SWEEET KK............... Razz
    [GM] Ebenzer[B]
    [GM] Ebenzer[B]
    GM[Game Master]
    GM[Game Master]


    Posts : 32
    Join date : 30.03.10
    Age : 29

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by [GM] Ebenzer[B] Wed Mar 31, 2010 10:34 am

    ente sok tau !!
    perasaan ini cerita Psycho dah .. =,=
    [GM] KaizerHeroes
    [GM] KaizerHeroes
    GM[Game Master]
    GM[Game Master]


    Posts : 16
    Join date : 29.03.10
    Age : 31
    Location : Ciledug , Tangerang

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by [GM] KaizerHeroes Wed Mar 31, 2010 10:43 am

    apaan neh ben ....... !!!!
    NaNa [cLeona]
    NaNa [cLeona]
    Sub[GM]
    Sub[GM]


    Posts : 13
    Join date : 30.03.10
    Age : 29
    Location : Singapore

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by NaNa [cLeona] Wed Mar 31, 2010 10:58 am

    Admin pake fhoto google [You must be registered and logged in to see this link.]

    neh fhoto mantan asli sar !!!
    avatar
    rusty97


    Posts : 4
    Join date : 30.03.10

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by rusty97 Wed Mar 31, 2010 7:18 pm

    weleh critanya clear di post dsni udah ijin blom tu wkakwakw
    avatar
    homo


    Posts : 2
    Join date : 01.04.10

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by homo Thu Apr 01, 2010 6:02 am

    udah apdet aja cerita aslimu, jangan fanfic si funelay sama kelir yang di post sini...
    Miles
    Miles
    Sub[GM]
    Sub[GM]


    Posts : 35
    Join date : 30.03.10
    Age : 33
    Location : Nothingless

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by Miles Thu Apr 01, 2010 10:57 pm

    GM ebenzer kenapa nick ane gamasuk
    AkhuraMazda
    AkhuraMazda


    Posts : 10
    Join date : 03.04.10
    Age : 30
    Location : Kota gudeg

    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by AkhuraMazda Sat Apr 03, 2010 4:43 am

    maho After School (Fan Fics) 670530 :najis: After School (Fan Fics) 50270

    Sponsored content


    After School (Fan Fics) Empty Re: After School (Fan Fics)

    Post by Sponsored content


      Waktu sekarang Sun May 19, 2024 2:12 pm